Liputan6.com, Jakarta - Lembaga keuangan asal Jepang, Japan Bank for International Cooperation (JBIC) mencatatkan kenaikan nilai komitmen pinjaman hingga dua kali lipat ke Indonesia pada tahun ini. Jumlahnya senilai US$ 3,7 miliar dan lebih besar dibanding komitmen pinjaman dari Bank Dunia.
"Indonesia merupakan nasabah paling besar bagi kami," kata CEO dan Executive Managing Director JBIC, Tadashi Maeda saat ditemui di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis (20/10/2016).
Menurutnya, nilai komitmen pinjaman dari JBIC ke Indonesia mengalami peningkatan di tahun ini karena banyak proyek infrastruktur yang didanai. Salah satunya Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batang, Jawa Tengah.
"Pada 2016, ada proyek PLTU Batang yang menggunakan teknologi superkritikal yang dapat pinjaman dari JBIC. Makanya nilai pinjaman dari kami dua kali lipat naik dibanding Bank Dunia," jelasnya.
Dari data JBIC, Maeda mengungkapkan, komitmen pinjaman atau pembiayaan dari Bank Dunia pada 2014 sebesar US$ 1,2 miliar. Lalu turun menjadi US$ 1 miliar di 2015, dan meningkat lagi menjadi US$ 1,7 miliar pada 2016.
Sementara nilai komitmen dari JBIC ke Indonesia, sambungnya, sebesar US$ 1 miliar di 2014, turun menjadi US$ 0,9 miliar di 2016, dan naik signifikan menjadi US$ 3,7 miliar pada 2016.
"Karena proyek yang dibiayai banyak, nilai komitmen pinjaman dari kami ke Indonesia naik dua kali lipat dibanding Bank Dunia. Jadi rata-rata komitmen kami US$ 1 miliar-US$ 2 miliar selama lima tahun, total secara kasar US$ 8 miliar," terang Maeda.
Lebih jauh dijelaskannya, JBIC tidak menetapkan plafon untuk pembiayaan satu jenis proyek tertentu. Namun saat ini, tambah Maeda, JBIC tengah mempertimbangkan pembiayaan terminal penerima gas LNG receiving terminal di Bojonegara, Banten, Jawa Barat.
"Proyek ini ada keterlibatan dari perusahaan Jepang dan percobaan shale gas yang didatangkan Amerika Serikat untuk menjadi gas cair oleh Pertamina," terang Maeda.
Proyek lainnya yang dilirik JBIC, kata Maeda, di sektor transprotasi, kereta api, jalan tol, dan proyek baru lainnya tanpa ada jaminan dari pemerintah Indonesia.
"Kami mengincar proyek dengan skema Public Privat Partnership (PPP) sehingga kami terus berkoordinasi dengan Bappenas dan KPPIP, serta lembaga lainnya," pungkasnya. (Fik/Ndw)
Advertisement