Liputan6.com, Makassar - Ratusan makam tua berada di Bukit Ondongan menghadap langsung ke Teluk Majene, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat, menarik perhatian pengunjung. Tak hanya warga setempat, wisatawan mancanegara juga datang ke lokasi makam yang berada di Desa Pang Ali-Ali, Kecamatan Banggae.
Jika warga setempat meyakini makam-makam yang dikeramatkan itu sebagai penjaga kampung mereka, pengunjung asing tertarik karena jejak Hindu dan Islam terdapat di batu-batu nisan yang sama.
"Meski kelihatan keramat dan penuh aura mistis, namun bagi wisatawan, mereka datang karena tertarik dengan jejak sejarah yang ada. Di antaranya nisan batu makam yang cukup tua serta nisannya terdapat ukiran penggabungan budaya Hindu dan Islam," kata Muhammad Fadli, warga Majene, kepada Liputan6.com, Sabtu (22/10/2016).
Nisan batu pemakaman, kata Fadli, terbuat dari berbagai bahan, seperti batu lava, batu tanah dan kayu yang kuat. Pada nisan tersebut, terdapat ukiran berbagai simbol perpaduan antara Hindu dan Islam, yakni simbol swastika dan tulisan kaligrafi Arab.
"Ukiran simbol yang beragam tersebut seperti meninggalkan cerita sendiri yang belum terpecahkan hingga saat ini. Namun, banyak kalangan memaknai bahwa dengan perpaduan ukiran pada makam tua tersebut, seakan ingin memberikan pesan tentang keyakinan yang pernah dipeluk oleh nenek moyang dahulu," tutur Fadli.
Baca Juga
Advertisement
Jejak Hindu di pemakaman tua itu juga diwakili dengan simbol serupa yang terdapat di candi yang berada di Pulau Jawa. "Pemakaman tua saat ini sudah terdaftar sebagai cagar budaya sehingga menjadi salah satu destinasi wisata yang bisa dikunjungi untuk menambah referensi sejarah keberadaan Kerajaan Banggae," kata Fadli.
Menurut Fadli, berdasarkan penelitian sejarah dan arkeologi Sulsel, pemakaman tua di puncak Bukit Ondongan tersebut diperkirakan sudah ada sejak abad 16 hingga 18. Sementara, alasan pemilihan lokasi pemakaman ditujukan agar dapat mengawasi langsung keturunannya yang berada di bawah bukit atau hendak berlayar jauh mencari nafkah di lautan luas meski sudah meninggal dunia.
"Ceritanya demikian, sehingga mengapa nenek moyang Kerajaan Banggae memilih sendiri lokasi pemakamannya di puncak Bukit Ondongan," kata Fadli.
Berdasarkan kisah turun temurun, ia menuturkan penamaan kompleks pemakaman yang dinamai Poralle diberikan oleh raja pertama Banggae. Ia kemudian diangkat sebagai Mara ‘dia Salabose dan Daeng Salabose (pemimpin besar).
Dia juga diberi gelar Puang Banggae dan membentuk masyarakat pertama yang kemudian tumbuh menjadi Kerajaan Banggae. Maka itu, warga meyakini mereka yang dimakamkan di kompleks pemakaman itu merupakan keturunan Puang Banggae.