Liputan6.com, Jakarta - Mungkin agak sulit untuk jatuh cinta pada film animasi Trolls lewat pandangan pertama. Ada dua alasan untuk itu.
Yang pertama, karena penampakan karakter Trolls jauh dari konsep “imut” yang kerap diterapkan dalam film animasi pada umumnya. Lihat saja tokoh-tokoh film ini yang kontet, berambut jabrik, berhidung pesek dan lebar, dengan gigi jarang-jarang atau bahkan tonggos. Aslinya, karakter-karakter ini memang diadaptasi dari mainan Trolls yang populer di era 60-an.
Baca Juga
Advertisement
Yang kedua, karena plot film yang kabarnya akan diputar di Indonesia pada 28 Oktober mendatang ini sebenarnya tergolong klise. Film dibuka dengan pengenalan bangsa Troll, makhluk mini warna-warni yang hidup tersembunyi, dan menghabiskan waktunya dengan bernyanyi, menari, dan saling berpelukan. Salah satu troll yang hidup di kawanan ini adalah Poppy (Anna Kendrick), putri dari pemimpin Troll yang sifatnya kelewat ceria dan optimistis.
Ini berkebalikan dengan Branch (Justin Timberlake), yang hidup menyendiri dalam bungker. Ia ogah bernyanyi, menari, apalagi berpelukan. Seperti warna kulitnya yang kelabu, Branch hanya bisa memandang segalanya secara pesimistis dan sinis.
Hidup mereka berubah saat seorang koki bangsa Bergen yang kejam (Christine Baranski) menangkap beberapa teman Poppy. Konon katanya, bangsa raksasa yang pemurung itu mampu berbahagia bila mereka memakan Troll. Tak pelak, Branch dan Poppy pun harus bahu membahu menyelamatkan kawan-kawannya.
Dilihat dari sinopsisnya, rasanya tak sulit menemukan film maupun cerita semacam ini. Soal petualangan demi menyelamatkan sesuatu dari bahaya, juga mengenai dua pribadi bertolak belakang yang berusaha untuk saling mengenal.
Lantas, apa Trolls kemudian menjadi film yang garing dan membosankan? Tidak, justru sebaliknya. Ada banyak hal yang membuat Trolls menjadi begitu asyik untuk dinikmati.
Yang pertama, adalah visualisasinya yang cantik. Film yang dibuat oleh studio animasi Dreamworks Animation ini menggunakan palet warna-warni cerah yang dengan mudah menarik perhatian penonton—terutama penonton cilik. Tak cuma itu, tekstur para karakter yang mengingatkan pada kain flanel, membuat aspek visual film ini terasa cukup unik.
Dari segi cerita, meski plotnya sebenarnya tak terasa istimewa, duo sutradara Mike Mitchell dan Walt Dohrn mengeksekusinya secara matang. Beberapa parodi juga dimasukkan dalam film ini, termasuk plesetan film Steven Spielberg, IT, juga cerita Cinderella.
Pesan soal kebahagiaan dalam film ini, mungkin terasa seperti "khotbah" bagi penonton dewasa. Namun mengingat film ini ditujukan untuk penonton kanak-kanak, hal ini masih bisa ditoleransi.
Tokoh-tokoh dalam film ini, meski terlihat tak lucu-lucu amat, ternyata semakin lama mampu merebut hati penonton lewat tingkah mereka yang kocak. Termasuk Bridget (Zooey Deschanel), gadis Bergens yang mabuk kepayang pada Pangeran Bergens (Christopher Mintz-Plasse). Keceriaan dan optimisme yang dimiliki para Troll, sedikit banyak juga mempengaruhi penonton usai keluar dari gedung bioskop.
Hal lain yang menjadi satu elemen penting dari Trolls, adalah musik. Ada sejumlah lagu—kebanyakan dari era 80-an—yang dinyanyikan para karakter dalam film ini. Beberapa di antaranya adalah “True Colours” Cindy Lauper, “Hello” milik Lionel Richie, hingga “The Sound of Silence” dari Simon & Garfunkel—yang begitu beken sebagai meme di dunia maya.
Tak cuma sekadar ditempel begitu saja, lagu-lagu ini begitu menyatu dengan narasi yang sedang disampaikan dalam film. Karena itulah, penempatan lagu-lagu ini menambah keasyikan tersendiri, terutama bagi penonton senior yang sudah mengenal lagu-lagu tersebut.
Selain meminjam lagu-lagu lama yang sudah familiar, original soundtrack film ini pun terasa begitu pas dengan cerita ini. Cek saja lagu “Can’t Stop The Feeling” yang dibawakan Justin Timberlake. Lagu ini memiliki nuansa serupa dengan film. Ringan, menyenangkan, bahkan mungkin membuat badan ikut bergoyang dan hati berdendang.