Robot Akan Menggantikan Hakim di Pengadilan, Lebih Akurat?

Sistem kecerdasan buatan (AI) bisa meramalkan keputusan pengadilan-pengadilan HAM dengan ketelitian hingga 79 persen.

oleh Alexander Lumbantobing diperbarui 25 Okt 2016, 11:04 WIB
Ternyata, selain pekerja seks komersial, robot dengan kecerdasan buatan juga mulai mengambil peran sebagai ahli hukum. (Sumber techinsider.io)

Liputan6.com, London - Kemajuan kecerdasan buatan (artificial intelligence, AI) semakin merambah ke berbagai bidang.

Sebelumnya, perangkat AI sudah bisa selalu menang bermain catur, lalu terbukti bisa menggantikan fungsi pengacara, menjadi bayi robot untuk pasutri yang belum dikaruniai anak, dan ditengarai bisa menjadi teknologi utama robot seks di masa depan.

Dikutip dari Daily Mail pada Selasa (25/10/2016), baru-baru ini para peneliti mengembangkan sistem AI yang dapat melakukan prediksi keputusan pengadilan.

Penelitian tentang sistem tersebut mengaku bahwa sistem AI bisa meramalkan keputusan pengadilan-pengadilan HAM dengan ketelitian hingga 79 persen.

Menurut para peneliti, hasil tersebut dimungkinkan melalui analisa teks peradilan menggunakan algoritma pembelajaran oleh mesin (machine learning algorithm) yang dikembangkan bersama oleh University College London (UCL), University of Sheffield, dan University of Pennsylvania.

Namun demikian, Dr. Nikolaos Aletras, pimpinan Ilmu Komputer UCL, mengatakan, "Kami belum membayangkan AI menggantikan para hakim atau pengacara, tapi mereka akan mendapat manfaat dari kecepatan pengenalan pola dalam kasus-kasus yang mengarah kepada hasil tertentu."

"AI juga bisa menjadi alat bantu yang berguna untuk memperjelas kasus-kasus yang kemungkinan besar merupakan pelanggaran Konvensi HAM Eropa."

Para peneliti itu mendapati bahwa penghakiman oleh Pengadilan HAM Eropa (European Court of Human Rights, ECtHR) sangat berkitan dengan fakta-fakta non-legal, bukannya argumen legal langsung.

Oleh karena itu, meminjam istilah teori hukum, para hakim di pengadilan tersebut tergolong sebagai 'realis', bukannya 'formalis'.

Dugaan tersebut mendukung temuan dari beberapa penelitian sebelumnya tentang proses-proses di pengadilan-pengadilan tinggi lainnya, termasuk dalam Mahkamah Agung Amerika Serikat (US Supreme Court), demikian menurut penelitian.


Analisa Alur Pikiran

"Penelitian kami merupakan yang pertama untuk jenis ini, yaitu mengolah temuan-temuan karya empiris lain tentang penentu alur pikiran di pengadilan-pengadilan tinggi."

"Memang masih harus ditingkatkan dan diperbaiki melalui pengujian sistematis pada lebih banyak data," demikian menurut salah satu penulis laporan, Dr. Dimitrios Tsarapatsanis yang adalah seorang dosen hukum di University of Sheffield.

Dr. Vasileios Lampos, salah seorang peneliti dari Ilmu Komputer UCL, menjelaskan, "Secara ideal, kami menguji dan memperbaiki algoritma menggunakan aplikasi yang dibuat untuk pengadilan, bukannya keputusan yang telah diterbitkan, tapi tanpa akses ke data ringkasan pengaduan yang telah diterbitkan pengadilan."

Tim tersebut mencirikan kumpulan data berbahasa Inggris pada 584 kasus yang berhubungan dengan Pasal 3, 6, dan 8 dalam Konvensi HAM Eropa. Mereka kemudian menerapkan algoritma AI untuk menemukan pola-pola dalam teks.

Untuk menghindari bias dan salah ajar pada sistem, mereka memilih jumlah yang seimbang baik bagi kasus-kasus pelanggaran maupun yang bukan pelanggaran.

Hasilnya menunjukkan bahwa faktor yang paling berpengaruh untuk menduga keputusan pengadilan adalah bahasa yang digunakan, demikian juga dengan topik-topik dan suasana yang tertera dalam teks kasusnya.

Yang dimaksud dengan 'suasana' dalam teks mencakup informasi tentang latar belakang faktual kasusnya.

Menurut Dr. Lampos, "Sejumlah penelitian sebelumnya memberi prediksi hasil berdasarkan sifat alamiah kejahatannya ataupun posisi kebijakan masing-masing hakim, sehingga inilah pertama kalinya peradilan memberi prediksi menggunakan analisis teks yang dipersiapkan oleh pengadilan tersebut."

"Kami berharap bahwa alat bantu seperti ini akan meningkatkan efisiensi pada di pengadilan ad hoc tingkat tinggi. Tapi, agar menjadi kenyataan, kita perlu mengujinya dengan lebih banyak artikel dan data kasus yang diajukan ke pengadilan."

Penelitian ini telah diterbitkan pada Senin 24 Oktober 2016 dalam jurnal PeerJ Computer Science.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya