Demam Keong Masih 'Menghantui' Indonesia

Schistosomiasis atau demam keong ternyata masih menghantui Indonesia.

oleh Fitri Syarifah diperbarui 27 Okt 2016, 13:00 WIB
Keong menyebabkan penyakit Schistosomiasis di Sulawesi Utara | Via: liputan6.comm

Liputan6.com, Jakarta Penyakit kronis akibat cacing Schistosoma yang dibawa oleh keong Oncomelania, schistosomiasis atau demam keong, ternyata masih menghantui Indonesia.

Meski jumlah kasusnya jarang, menurut Kementerian Kesehatan, penyakit ini masih dijumpai di 28 desa di Sulawesi Tengah, yaitu di lima desa di Kabupaten Sigi dan 23 desa di Kabupaten Poso. Jumlah penduduk di kawasan tersebut ini berkisar antara 30.639 orang.

“Dengan fakta tersebut, Indonesia menjadi satu-satunya negara di wilayah SEARO yang masih memiliki masalah scistosomiasis,” ujar Menteri Kesehatan RI, Prof Dr dr Nila Farid Moeloek, SpM(K), pada pertemuan Bakohumas yang dihadiri oleh perwakilan Kementerian Kominfo, serta praktisi humas dari Kementerian dan Lembaga di Kantor Kementerian Kesehatan.

Pada saat yang sama pula, pemerintah melaksanakan Pertemuan Lintas Sektor Eliminasi Penyakit Demam Keong (schistosomiasis) melalui Pengendalian Lingkungan Terpadu di Hotel Crown Plaza, Jakarta.

Penularan schistosomiasis terjadi dengan cara Larva cacing schistosoma menembus kulit dan masuk ke dalam tubuh manusia dan tumbuh menjadi dewasa, bertelur lalu telurnya keluar bersama tinja.

Jika penderita schistosoma buang air besar sembarangan maka telur schistosoma akan tersebar di tanah dan lingkungan menetas menjadi larva dan masuk ke dalam tubuh keong oncomelania.

Di dalam tubuh keong oncomelania, larva tersebut berkembang menjadi larva dewasa lalu keluar ke lingkungan dan dapat menulari manusia selain dapat masuk ke dalam tubuh manusia. Larva juga dapat masuk ke dalam tubuh hewan mamalia seperti sapi, kerbau, kuda, dan anjing. Hewan-hewan ini dapat menjadi sumber penularan dengan menyebarkan telur schistosoma melalui tinjanya.

“Keong Oncomelania itu kecil sekali, ada di sekitar Danau Lindu. Setiap kali hujan dari hutan turun dan masuk ke masyarakat. Kalau masyarakat sampai kena, risiko kematian bisa jadi kenyataan," ujar Menkes melalui siaran pers yang diterima Liputan6.com, Rabu (26/10/2016).

Pencegahan dan pengendalian schistosomiasis di Indonesia dimulai pada 1981 dan berlanjut sampai sekarang. Upaya dimulai di Lindu (1981) diperluas ke Napu (1982) dan Besoa (1987).

Upaya yang dilakukan oleh sektor kesehatan di antaranya, promosi kesehatan agar masyarakat menghentikan kebiasaan buang air besar sembarangan, pengobatan penderita Schistosomiasis Surveilans Schistosomiasis pada manusia, keong Oncomelania, dan tikus dan perubahan lingkungan untuk pemberantasan keong Oncomelania.

Prevalensi schistosomiasis pada manusia berhasil diturunkan dari 5,9 persen pada 1989 menjadi 1,2 persen pada 2016.

“Kemenkes sudah bekerja, prevalensi di manusia berhasil turun. Tapi siklus itu kan berjalan terus. Cacing itu bisa masuk ke tikus, bahkan binatang ternak,” kata Menkes.

Menkes menegaskan, Kementerian Kesehatan membutuhkan bantuan peran lintas sektor untuk menyelesaikan permasalahan kesehatan, misalnya intervensi terhadap hewan tikus, semenisasi saluran irigasi agar kering dan aliran airnya lancar sehingga keong tidak menempel di daerah basah tersebut. Serta upaya pemberdayaan masyarakat baik melalui posyandu, UKS, bahkan ke tingkat aparat desa setempat.

“Janganlah memandang masalah kesehatan hanya dari sudut pandang kesehatan saja. Tidak mungkin Kementerian Kesehatan mampu berdiri hanya sendiri,” ujar Menkes.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya