Baleg Ingin RUU PKS Berikan Perlindungan Psikologis Kepada Korban

Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Ammy Amalia dalam Rapat Baleg di Gedung DPR RI, Senayan.

oleh Liputan6 diperbarui 26 Okt 2016, 15:56 WIB
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Ammy Amalia dalam Rapat Baleg di Gedung DPR RI, Senayan.

Liputan6.com, Jakarta Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Ammy Amalia menginginkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang tengah diharmonisasi Baleg saat ini memberikan perlindungan maksimal kepada korban kekerasan seksual.

“RUU PKS ini menginginkan adanya peran serta negara, baik dari pemerintah tingkat pusat sampai dengan pemerintah tingkat kabupaten kota agar memberikan perhatian khusus untuk pemulihan korban tindak kekerasan seksual,” ungkap Ammy dalam Rapat Baleg di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (25/10).

Menurut politisi dari Fraksi PAN itu, pemulihan psikologis terhadap korban selama ini masih terabaikan. Pasalnya, fokus pemerintah dalam KUHP hanya pada pemidanaan pelaku tindak pidana pemerkosaan dan pencabulan.

Sisi lain, lanjut Ammy, nantinya pemulihan psikologis korban kekerasan seksual akan dilakukan oleh psikolog khusus yang bisa mengobati traumatis tanpa mengabaikan kemampuan negara dalam hal pembiayaan dengan memberikan limitasi waktu.

“Untuk sementara memang wacana baru sampai disitu. Sebetulnya korban yang mengalami traumatis butuh waktu berapa lama agar bisa sembuh, nah ini yang akan dilakukan kajian lebih mendalam lagi,” tandas politisi dapil Jawa Tengah VIII itu.

Selain itu, terkait dengan hak-hak korban, Ammy mengusulkan agar nantinya pengadilan kasus kekerasan seksual dilakukan secara tertutup untuk meminimalisir adanya reviktimisasi terhadap korban.

“Jika memungkinkan, tidak perlu bentuk pengadilan khusus, tetapi pengadilan umum hanya saja dilakukan secara tertutup untuk melindungi hak-hak dan nama baik korban,” imbuh Ammy.

Sementara itu, anggota Baleg Rufinus Hutauruk mengutarakan agar sebaiknya kasus kekerasan seksual masuk kedalam ranah pidana khusus dan persidangannya harus dilakukan secara tertutup. Sebab, hak-hak korban perlu menjadi perhatian dalam RUU PKS ini.

“Mengenai hak korban, saya melihat sangat tidak toleran terhadap korban karena kerahasian korban tidak terjaga sama sekali. Seseorang sudah menjadi korban kemudian di re-shot di TV, Waduh, berapa kali mereka harus menjadi korban dan itu akan dilegalisasi oleh masyarakat banyak. Ini masalah khusus, jangan sampai masuk dalam ranah pidana umum,” tegas politisi dari F-Hanura itu.

(*)

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya