Liputan6.com, Jakarta- Tak berlebihan dan terkesan datar. Baik saat merayakan gol Juan Mata maupun ketika laga usai, Jose Mourinho tampak tak terlalu emosional. Padahal, kemenangan 1-0 atas Manchester City itu mengantar Manchester United ke perempat final EFL. Hasil itu pun mengakhiri rentetan hasil buruk. Terutama setelah mereka dibantai empat gol tanpa balas oleh Chelsea pada pekan ke-9 Premier League.
Sikap The Special One bisa ditafsirkan bermacam-macam. Pertama, bisa jadi itu merupakan lanjutan kritiknya terhadap selebrasi Antonio Conte, manajer Chelsea, pekan lalu. Kedua, sangat mungkin karena permainan Red Devils yang masih kurang greget. Lini belakang masih terlalu mudah diterobos lawan. Lini tengah pun beberapa kali kalah duel dan membuat error yang memudahkan lawan menerobos pertahanan.
Baca Juga
Advertisement
Mourinho tak bisa terlalu berharap kemenangan pertama atas big boys ini menjadi titik balik. Memang hanya Burnley yang akan dihadapi akhir pekan ini. Sudah begitu, di kandang sendiri pula. Namun, dengan performa seperti itu, Red Devils tetap tak bisa jemawa.
Andai tak hati-hati, bisa jadi rentetan laga tanpa kemenangan di Premier League akan berlanjut. Tentu saja hal itu akan membahayakan perjalanan mereka dalam upaya meraih gelar juara. Kans juara bisa jadi kian menipis.
Padahal, berdasarkan hasil sembilan pekan awal saja, trofi juara sudah berada di luar jangkauan Man. United. Koleksi 14 poin adalah sebabnya. Sepanjang era Premier League sejak 1992-93, tak pernah ada tim juara dengan modal seminim itu.
Untuk juara, modal terminim yang harus dimiliki pada pekan ke-9 adalah 16 poin. Itu pun hanya Leicester City pada musim lalu dan Man. City pada 2013-14. Di samping itu, hampir semua juara juga berada di 5-besar setelah melalui sembilan pertandingan. Anomali hanya Man. City pada musim 2013-14 yang juara meski berada di posisi ke-7 pada pekan ke-9.
Memang benar, tertinggal enam poin dari sang pemuncak klasemen pekan ke-9 tak otomatis memupus peluang juara. Red Devils telah menunjukkan hal itu pada 2002-03. Demikian pula Man. City pada 2013-14. Keduanya juara meski klasemen pekan ke-9 sama-sama dikuasai Arsenal.
Tentu bukan sebuah kemustahilan bagi Man. United untuk mengulang kisah 2002-03. Namun, masalahnya, Mourinho pada saat ini seperti belum betul-betul menemukan solusi atas performa buruk anak-anak asuhnya. Dia clueless, persis seperti di Chelsea musim lalu.
Penuh Kontradiksi
Penuh Kontradiksi
Tak sedikit orang yang mengatakan, masalah utama Man. United justru Mourinho. Sejak awal musim, dia menempuh jalannya sendiri. Sebuah jalan sunyi yang tak ditempuhi orang lain. Sejak menginjakkan kakinya di Old Trafford, dia ingin menunjukkan "This is my way". Dia tak sudi menyempurnakan proyek Louis van Gaal yang musim lalu sangat berani memainkan para penggawa muda.
Di jalan sunyinya itu, The Special One jarang mendengarkan senandung orang lain. Dia bergeming meski putusannya memberikan kepercayaan penuh kepada Marouane Fellaini digugat sana-sini. Dia juga mengabaikan usulan agar Marcus Rashford menggantikan Zlatan Ibrahimovic sebagai focal point.
Jalan sunyi yang ditempuh Mou juga penuh kontradiksi. Dia langsung melempar Schweinsteiger ke tim reserves, namun menunjukkan kesabaran tak berbatas untuk Fellaini. Permainan buruk performa penggawa asal Belgia itu selalu dia nafikan.
Kontradiksi juga diperlihatkan dalam penanganan Paul Pogba dan Henrikh Mkhitaryan. Kepada Pogba –mungkin karena banderolnya, Mou rela melakukan apa saja untuk memudahkan proses adaptasi si anak hilang. Namun, hal serupa tak berlaku bagi Mkhitaryan. Setelah kekalahan 1-2 dari Man. City pada pekan ke-4, untuk berada di bangku cadangan saja susahnya minta ampun.
Padahal, andai menengok sedikit saja ke belakang, Mkhitaryan justru perlu mendapat perhatian lebih besar. Pasalnya, dia juga sempat mengalami masa-masa sulit saat menjalani musim pertamanya di Borussia Dortmund. Pemain-pemain dengan sejarah seperti ini tentu wajib diperhatikan oleh manajer. Apalagi Mkhitaryan dibeli dengan harga yang tidak murah.
Sah-sah saja Mourinho konsisten mengayun langkah di jalannya. Bagaimanapun, setiap pelatih memiliki karakter tersendiri. Tetapi, ketika tim mulai oleng, tidak ada salahnya untuk mulai mendengarkan senandung-senandung di sekitar. Senandung yang sumbang namun didendangkan atas nama cinta dan kepedulian kepada klubnya.
Advertisement
Jebakan Pogba
Jebakan Pogba
Selain penuh kontradiksi, Mourinho juga mulai terjebak dalam masalah Pogba. Perubahan posisi yang terus dilakukan terhadap sang pemain menunjukkan perhatian The Special One yang cenderung obsesif. Dia seolah berpikir bahwa Pogba adalah satu-satunya sosok yang bisa menyelamatkan Man. United.
Ini bertolak belakang dengan falsafah yang dipegangnya selama ini. Bertahun-tahun, Mourinho meyakini bahwa kemenangan diraih berkat kontribusi tim, skuat, bukan individu pemain tertentu. Kolektivitas ini sangat menonjol di tim-tim yang diasuh The Special One. Dia tak butuh seorang pemain terbaik dunia untuk juara.
Ketidakmonceran Pogba memang masalah bagi Mourinho dan Man. United. Namun, terlalu naif untuk beranggapan Red Devils pasti bangkit bila Pogba cemerlang. Patut diingat, sewaktu di Juventus, Pogba gemilang justru karena performa tim secara kolektif.
Ketimbang bergumul dengan cara memoncerkan Pogba, Mourinho seharusnya lebih fokus pada memanfaatkan semua sumber daya yang ada, termasuk Mkhitaryan, Wayne Rooney, atau bahkan Schweinsteiger. Dia harus mencermati kelebihan dan kelemahan setiap pemainnya.
Misalnya tentang Rashford. Apakah dia memang tepat ditempatkan di sayap? Tidakkah itu justru mereduksi insting golnya yang luar biasa? Apakah justru sebaiknya memang dia yang jadi ujung tombak, sedangkan Ibrahimovic bergeser sebagai penyokong?
Ibra memang bukan pemain sembarangan. Namun, berharap gelontoran gol dari striker yang telah berumur 35 tahun rasanya terlalu berlebihan. Lagi pula, kemampuan Ibra tak cuma menjebol gawang lawan. Dia pun piawai mengkreasi serangan, membuka ruang, dan memberikan umpan-umpan matang. Semasa berkostum Paris Saint-Germain, Ibra bisa melakoni peran apa saja dengan sama baiknya.
Bukan hanya Pogba, semua elemen di skuat Red Devils saat ini bermasalah. Terjebak pada upaya membuat individu-individu tampil sesuai ekspektasi publik malah bisa jadi bumerang. Sebaliknya, kembali ke falsafah lama sepertinya bisa membawa Man. United kembali ke jalur juara.