Fenomena 'Black Swan' dan Ketidakpastian dalam Pilpres AS 2016

Pilpres AS 2016 tercatat sebagai pertarungan yang bersejarah antara politisi kawakan, Hillary dan sosok kontroversial, Trump.

oleh Liputan6 diperbarui 01 Nov 2016, 13:18 WIB
Ekspresi capres AS dari Partai Republik, Donald Trump ketika melihat rivalnya dari Partai Demokrat, Hillary Clinton sebelum dimulainya perhelatan debat ketiga dan terakhir capres AS di University of Nevada, Las Vegas, Rabu (19/10). (REUTERS/Mike Blake)

Liputan6.com, Jakarta - Pemilihan Presiden Amerika Serikat 2016 (Pilpres AS 2016) yang mempertarungkan calon presiden (capres) Partai Demokrat, Hillary Clinton dan capres Partai Republik, Donald Trump akan berlangsung pada 8 November 2016. Pada saat yang bersamaan juga akan bergulir pemilihan anggota kongres AS yang meliputi 34 anggota senat dan 435 anggota DPR.

Hasil pilpres dan pemilihan anggota DPR dan senat ini akan sangat menentukan situasi ekonomi dan sosial-politik dalam negeri AS yang juga akan berdampak pada situasi ekonomi dan sosial-politik global di masa depan.

Jika Hillary menang dan Partai Demokrat meraih minimal 50 kursi di Senat dan menambah minimal 15 kursi di DPR dari 188 kursi yang saat ini dikuasainya, lanskap ekonomi dan sosial-politik AS mungkin tidak banyak berubah dari saat ini.

Tapi jika Trump menang dan Partai Republik mempertahankan majoritas di senat dan DPR, maka berbagai ketidakpastian akan menghantui warga AS dan dunia.

Pertarungan bersejarah capres establishment vs capres outsider yang sama-sama tidak begitu disukai

Pilpres AS 2016 merupakan sebuah fenomena bersejarah. Dari sisi calon, Hillary merupakan capres perempuan pertama yang diusung partai besar sedangkan Trump menjadi capres paling kontroversial, paling miskin pengalaman, dan paling sedikit didukung elite partai sepanjang sejarah.

Trump juga mengukir sejarah karena dia merupakan capres Partai Republik yang merupakan outsider -- bukan politisi karir dan paling sedikit mendapat endorsement dari pejabat partai saat pertama kali maju di pilpres pendahuluan atau primary --namun menang telak di primary dengan meraih suara pemilih Partai Republik terbesar sepanjang sejarah primary, yakni 13.3 juta suara.

Sebaliknya, Hillary adalah capres establishment karena merupakan politisi kawakan Partai Demokrat, mulai dari sebagai Ibu Negara selama dua periode pemerintahan Presiden Bill Clinton (1992 – 2000), senator untuk Negara Bagian New York selama 2 periode, hingga menteri luar negeri di periode pertama pemerintahan Presiden Obama setelah kalah di primary Partai Demokrat tahun 2008.

Hal yang menarik dari pertarungan Hillary dan Trump di Pilpres AS 2016 adalah kedua capres ini sama-sama memiliki tingkat kesukaan pemilih netto (net favorability rating) negatif. Artinya jumlah pemilih AS yang tidak menyukai Hillary dan Trump lebih banyak daripada yang menyukai keduanya. Hanya saja, secara relatif net favorability rating Hillary lebih baik dari Trump yakni -7.4 vs -21.2 berdasarkan data RealClearPolitics 30 Oktober.

Dosa-dosa besar Hillary dan Trump

Hal lain yang tidak kalah menarik dalam pilpres AS kali ini adalah baik Hillary maupun Trump sama-sama merupakan capres bermasalah, yang dalam kondisi politik normal akan sulit meraih mandat pencalonan dari partainya masing-masing.

Dari sudut pandang Partai Republik dan sebagian rakyat AS, Hillary paling tidak dianggap memiliki 3 'dosa besar' politik. Dosa pertamanya adalah kelalaian keamanan dalam kasus penyerangan terhadap fasilitas pemerintah AS di Benghazi Libya yang menyebabkan empat orang warga AS meninggal, termasuk duta besar AS untuk Libya J. Christopher Stevens.

Dosa besar kedua adalah perlakuan istimewa yang diberikan oleh Hillary atau Kementerian Luar Negeri AS terhadap sejumlah donatur warga asing untuk yang memberikan sumbangan kepada Clinton Foundation--meskipun keluarga Clinton tidak terbukti menggunakan dana yayasan tersebut untuk kepentingan pribadi. 

Dosa besar ketiga adalah penggunaan server email pribadi selama menjabat sebagai Menteri Luar Negeri yang berpotensi bocornya email bersifat rahasia atau classified ke pihak lain; dalam kasus ini, Hillary juga disinyalir menghapus puluhan ribu email dari server tersebut, meskipun menurut pengakuan Hillary seluruh email yang dihapus adalah email komunikasi pribadi.

Dua Capres AS, Hillary Clinton dan Donald Trump saat debat capres AS ketiga dan terakhir di University of Nevada, Las Vegas, Rabu (19/10). (REUTERS/Rick Wilking)

Donald Trump juga tidak luput dari sejumlah 'dosa besar' di masa lalu dan saat ini, meskipun karena posisinya sebagai pebisnis, dosa Trump lebih merupakan 'dosa etika' ketimbang 'dosa politik', tapi tetap memiliki dampak politis yang signifikan terhadap pencalonannya. Dosa besar pertama Trump adalah tindakan diskriminatif yang pernah dilakukannya terhadap tenan atau calon tenan dari ras Afrika-Amerika yang ingin tinggal di atau menggunakan properti Trump—yang hal ini tercermin dalam platform politik semi-rasis yang diusungnya.

Dosa besar kedua adalah tindakan mengemplang pajak oleh Trump Organization. Hal ini sulit dibuktikan karena Trump tidak pernah membuka laporan pajak perusahaan dan pribadinya ke publik.

Dosa besar ketiga adalah berbagai tindakan penghinaan terhadap orang lain, termasuk lawan-lawan politiknya di Partai Republik atau pesaingnya, Hillary dan para politisi lain di Partai Demokrat, serta para kolomnis konservatif dan liberal atau reporter-reporter TV yang kerap mengkritiknya.

Koran New York Time belum lama menampilkan dua halaman kata-kata hinaan Trump di Twitter kepada 282 orang, mulai dari para pesaingnya selama primary Partai Republik, politisi Partai Demokrat hingga awak media, baik media konservatif maupun liberal.


Fenomena Black Swan dalam Pilpres AS 2016

Black Swan dalam Pilpres AS 2016

Istilah Black Swan pertama kali dipopulerkan oleh analis resiko dan penulis, Nassim Nicholas Taleb, melalui bukunya The Black Swan: The Impact of the Highly Improbable yang merupakan buku best seller pada 2007 untuk mendeskripsikan peristiwa-peristiwa luar biasa yang muncul tidak disangka-sangka sehingga menjungkirbalikkan logika yang selama ini berlaku.

Peristiwa Black Swan memiliki 3 kriteria: yakni bersifat outlier atau nyeleneh, memiliki dampak yang cukup ekstrem, dan sulit dinalar oleh rasio meskipun sudah benar-benar terjadi.

Trump adalah Black Swan terbesar dalam Pilpres AS 2016. Ketika maju sebagai bakal calon presiden outsider di primary capres Partai Republik, Trump hanya mengantongi elektabilitas 3% berdasarkan poling CNN dan peluang kemenangan 2% di awal primary menurut proyeksi FiveThirtyEight.

Tapi dengan dukungan kuat dari para pemilih Partai Republik yang anti-establishment dan sleeping voters (kelompok anti-imigran, nativis, keturunan anggota KKK, grup anti Islam dll. yang dalam beberapa pilpres sebelumnya golput) Trump sukses mempecundangi 16 pesaingnya yang rata-rata merupakan pejabat atau mantan pejabat partai yakni Ted Cruz, John Kasich, Marco Rubio, Jeb Bush, Chris Christie, Bobby Jindal, Ben Carson, Carly Fiorina, Jim Gilmore, Lindsey Graham, Mike Huckabee, George Pataki, Rand Paul, Rick Perry, Rick Santorum dan Scott Walker, dengan perolehan suara mencapai rekor dalam sejarah primary Partai Republik.

Kemenangan Hillary di primary Partai Demokrat juga merupakan sesuatu yang mendekati peristiwa Black Swan. Meski maju dengan elektabilitas di atas 60%, iklim suara partai yang menginginkan perubahan dan net favorability rating yang negatif membuat Hillary sulit mempertahankan elektabilitasnya sehingga pada pertengahan April 2016 atau dua bulan sebelum primary Partai Demokrat berakhir elektabiltas Hillary dan Bernie Sanders hanya terpaut 1% menurut catatan RealClearPolitics. 

Infografis Hillary Clinton Vs Donald Trump (Liputan6.com/Tri Yasni)

Kemenangan Hillary lebih disebabkan oleh kesalahan tim kampanye Sanders yang mengabaikan negara-negara bagian selatan AS (Southern States) seperti Texas, Alabama, Virginia, Louisiana, Mississippi, Georgia dan Arkansas karena negara-negara bagian tersebut memang selalu memenangkan capres Partai Republik di pilpres.

Padahal jika Sanders fight di Southern States, tidak mustahil dia bisa meraih mayoritas pledged delegates (delegasi atau perwakilan yang memilih di Konvensi Partai Demokrat yang dipilih melalui primary partai) dan memaksa superdelegates (delegasi yang terdiri dari para pejabat partai yang memiliki suara otomatis untuk Konvensi tanpa melalui primary) mengalihkan suaranya dari Hillary ke Sanders.

Pertarungan antara dua capres Hillary dan Trump yang begitu disukai pemilih di tengah suasana politik dalam negeri yang haus akan perubahan membuat naik-turunnya elektabilitas Clinton dan Trump juga sangat ditentukan oleh peristiwa-peristiwa tidak terduga yang mendekati peristiwa Black Swan.

Peristiwa Black Swan yang membuat elektabilitas Hillary anjlok antara lain adalah ketika ia jatuh pingsan di tengah acara peringatan 11/9 yang membuat kondisi kesehatannya dipertanyakan; pengungkapan ribuan email Clinton dan pendukungnya oleh Wikileaks terkait sumbangan donatur asing terhadap Clinton Foundation dan upaya penjegalan Bernie Sanders di primary yang meningkatkan citra negatif Clinton di mata pemilih dan mendorong perpecahan dalam koalisi pemilih pendukungnya; dan yang terbaru adalah ditemukannya sejumlah email Hillary dengan kategori classified dalam laptop Anthony Weiner, mantan suami staf senior Clinton Huma Abedin, yang tengah diperiksa FBI terkait sexting cabul dengan ABG berusia 15 tahun.

Di kubu Trump, kejadian mendekati peristiwa Black Swan antara lain adalah pengungkapan laporan pajak tahun 1995 dari Trump Organization oleh koran The New York Times yang mengindikasikan bahwa Trump Organization mengalami kerugian sebesar US$916 juta sehingga bisa secara legal menghindari membayar pajak selama 18 tahun; pembocoran video rekaman pembicaraan cabul Trump dengan produser Billy Bush di sela-sela pengambilan video untuk satu episode acara Access Hollywood oleh koran The Washington Post.

Dalam rekaman video tersebut Trump mengklaim bahwa dengan bermodalkan ketenaran yang dimilikinya dia dapat mengencani atau menggerayangi wanita mana saja yang dia sukai, termasuk mereka yang sudah bersuami (pengungkapan video vulgar tersebut kemudian diikuti oleh pengakuan paling tidak 12 orang wanita yang mengklaim menjadi korban pelecehan seksual oleh Trump, baik secara verbal maupun fisik, di masa lalu).

Peristiwa mendekati Black Swan lainnya adalah blunder yang dilakukan Trump di dalam debat capres ke-3 dengan menyebut Clinton sebagai 'a nasty woman' dan mengungkapkan keengganan mengakui hasil pilpres jika kalah pada 8 November nanti. Hal ini kontan membuat Trump anjlok di poling-poling, terutama karena dukungan kaum wanita terhadap Trump yang turun drastis.

Peristiwa-peristiwa Black Swan atau mirip Black Swan yang terjadi di kubu Hillary Clinton dan Donald Trump membuat poling nasional keduanya naik-turun dan warna negara bagian Swing States seperti Iowa, Ohio dan Arizona berubah-ubah dari merah-biru-merah dari waktu ke waktu yang mengindikasikan dukungan mayoritas pemilih di Swing States terus berubah antara Clinton dan Trump.

Kegamangan pemilih dan ketidakpastian pemenang pilpres 2016 terekam oleh poll aggregator dan situs analisa politik FiveThirtyEight yang menyebutkan bahwa prosentasi pemilih yang belum memutuskan memilih calon dan memilih calon lain di luar Clinton dan Hillary atau undecided + third party voters hingga dua minggu menjelang pilpres secara rata-rata masih berada di kisaran 15%. Pada periode waktu yang sama dalam pilpres 2012 angka undecided + third pary voters hanya tinggal 5% saja!


Hillary Atau Trump Sama-sama Membawa Ketidakpastian

Hillary atau Trump menang Pilpres 2016, ketidakpastian menyelimuti dalam negeri AS dan dunia

Pilpres AS tinggal satu minggu lagi dan rakyat AS serta orang-orang yang berkepentingan dengan politik negara adidaya ini atau mereka sekadar senang mengamati pilpres dan waktunya banyak tersita mengikuti isu-isu dan poling-poling terbaru termasuk penulis ingin agar pilpres AS segara berakhir. Tapi siapapun yang menang, masa depan politik AS akan diliputi oleh berbagai ketidakpastian.

Jika Hillary menang, Trump kemungkinan tidak akan dengan mudah menerima hasil pilpres, apalagi jika Hillary hanya menang tipis. Meskipun belum pernah terjadi sebelumnya, proses ‘banding’ oleh Trump yang keras kepala bisa memakan waktu lama.

Kalau pun sengketa hasil pilpres selesai, para anggota DPR dan Senator Partai Republik akan terus berupaya untuk merongrong pemerintahan Presiden Hillary dengan terus melancarkan tuduhan bahwa Clinton melakukan pelanggaran hukum serius dalam kasus penggunaan server email pribadi, Clinton Foundation dan Benghazi; menolak atau memperlambat pengesahan 1.200 hingga 1.400 jabatan eksekutif termasuk Hakim Agung dan posisi-posisi penting di Kabinet Presiden Hillary; dan menolak rancangan undang-undang batas maksimum utang baru (debt ceiling bill) sehingga pemerintahan AS tidak berjalan secara efektif.

Dua capres AS, Donald Trump dan HIllary Clinton berhadapan dalam Debat Capres AS 2016 putaran kedua di Washington University, St Louis, Missouri, Minggu (9/10). (REUTERS/Jim Bourg)

Jika dalam pemilihan anggota DPR dan senat yang juga berlangsung pada 8 November Partai Republik tetap mayoritas (menguasai minimal 51 kursi di DPR dan 232 kursi di DPR) maka tidak mustahil ada upaya untuk memakzulkan Presiden Hillary Clinton untuk kasus server email pribadi, Clinton Foundation, dan Benghazi.

Jika Trump menang, berbagai ketidakpastian akan menghantui, tidak hanya di dalam negeri AS melainkan juga dunia: deportasi jutaan imigran tanpa dokumen resmi, diskriminasi masif terhadap kelompok-kelompok ras non-kulit putih, meningkatnya pengekangan terhadap kebebasan pers, pengawasan ketat terhadap berbagai mesjid dan komunitas Muslim di AS, naiknya defisit anggaran serta meningkatnya krisis politik di Timur Tengah, Asia Timur dan Eropa karena AS akan lebih berpihak ke Rusia—dan kemungkinan juga Korea Utara -- ketimbang membela negara-negara Eropa anggota NATO dari ancaman aneksasi Rusia serta Jepang dan Korea Selatan yang terintimidasi oleh program senjata nuklir Korea Utara.

Dengan Trump yang temperamental dan tidak stabil secara emosi memegang kuasa tombol-tombol senjata nuklir AS, banyak pakar keamanan AS khawatir Trump akan dengan mudahnya menggunakan senjata nuklir untuk menyerang negara-negara yang tidak disukainya seperti Iran.

Hal-hal menakutkan jika Hillary Clinton atau Donald Trump memenangkan Pilpres AS 8 November 2016 seperti yang digambarkan di atas mungkin saja pada akhirnya tidak terjadi. Tapi semuanya akan mulai dibuktikan setelah hasil resmi pilpres serta pemilihan anggota DPR dan Senat AS diumumkan minggu depan.

** Didin Nasirudin. Penulis adalah Praktisi Komunikasi, Pemerhati Politik AS, dan Kandidat Magister Komunikasi Politik dari Universitas Jayabaya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya