Liputan6.com, Jakarta - Mendaki gunung bukan hal yang mudah dilakukan setiap orang. Apalagi mencapai puncak gunung-gunung tertinggi di dunia. Dalam dunia pencinta alam, pendaki mengenal istilah Seven Summits, yang berarti tujuh puncak gunung tertinggi di masing-masing benua di dunia. Banyak pendaki memiliki impian untuk menginjakkan kaki di Seven Summits. Impian itu tak terkecuali dimiliki oleh Sabar Gorky (49).
Advertisement
Sabar merupakan seorang penyandang disabilitas yang hanya memiliki kaki kiri. Kaki kanannya sudah lama diamputasi lantaran terlindas kereta api pada 1996. Dengan satu kaki, Sabar sudah mendaki empat dari tujuh gunung dari 2011-2016. Namun, baru tiga puncak gunung yang sudah dia taklukkan. Ketiga puncak itu adalah Gunung Elburs di Rusia dengan ketinggian 5.642 meter di atas permukaan laut (mdpl), Gunung Carstenzs di Papua dengan ketinggian 4.884 mdpl, dan Gunung Kilimanjaro di Tanzania dengan ketinggian 5.895 mdpl. Hanya Puncak Aconcagua setinggi 6.962 mdpl yang belum dilalui lantaran terkendala cuaca.
Sabar menceritakan ia merasa puas bisa mendaki tiap gunung tertinggi di setiap benua. Kepuasan tersebut, kata dia, tak bisa diukur dengan hitungan materi. “Belum tentu orang fisiknya normal, belum tentu diberikan kesempatan ke sana. Itulah yang dirasakan batin ini,” kata Sabar kepada Liputan6.com, Jumat (21/10/2016).
Ia menerangkan, tak mudah menaklukkan setiap medan. Apalagi hanya dengan satu kaki. Sabar mengaku ia tak bisa berjalan atau memanjat tebing secepat pendaki yang memiliki dua kaki. Contohnya, saat dia menaklukkan Puncak Elbrus. Orang dengan kondisi fisik yang sempurna, hanya memerlukan waktu 5-7 jam. Namun, Sabar butuh waktu sembilan jam. Kesulitan lain yang harus dihadapi adalah kondisi suhu udara yang mencapai minus 15 derajat Celsius.
Kendala suhu dan cuaca tak terlalu menjadi masalah buat Sabar. Sebaliknya, Sabar mendapat tantangan dan keseruan. Tantangan paling terasa datang dari dalam negeri. Itu terjadi saat dirinya harus mendaki Gunung Carstenzs di Pegunungan Jaya Wijaya. Menurut Sabar, dia merasa adrenalinnya sangat terpacu buat menaklukkan gunung tersebut. Selain menjadi gunung paling tinggi di Benua Australia, Puncak Carstenzs memiliki medan yang membuat dirinya harus memanjat tebing gunung dengan bebatuan yang curam berjam-jam.
“Kami manjat tebingnya dari jam 4 pagi sampai 7 malam. Perbandingannya 70 persen memanjat, 30 persen jalan biasa,” kata bapak satu anak ini.
Kondisi ini berkebalikan dengan medan yang dilalui di Gunung Kilimanjaro. Di gunung ini, menurut Sabar, ia harus banyak berjalan kaki. Sabar mengaku tak terlalu sulit menaklukkan gunung tersebut. Tantangannya hanya kejenuhan yang menghinggapi saat berjalan menuju puncak.
Adapun Gunung Aconcagua, punya cerita yang lain. Sabar harus menghadapi angin kencang. Kondisi cuaca ekstrem di pegunungan ini bahkan sanggup menggoyangkan bebatuan seberat tiga kilogram. Lantaran, medan gunung itu terdiri dari batu dan salju. Sabar mengaku, harus mawas diri. Sebab, bebatuan besar bisa saja jatuh menimpa mereka ketika angin kencang tiba-tiba menerjang. “Kami harus hati-hati. Kondisinya itu di sana 100 meter salju, 50 meter bebatuan,” ucap Sabar.
Fajri Lufti, anggota ekspedisi Seven Summits dari Wanadri, mengakui ikhwal sulitnya medan yang harus dilalui. Lelaki yang akrab disapa Lutfi ini sudah menuntaskan misi Seven Summits pada 2013, bersama lima rekannya dari Wanadri. Lutfi mengatakan, setiap puncak gunung tertinggi memiliki karakter yang berbeda-beda dari sisi cuaca dan kontur permukaan tanah.
Namun, menurut Lutfi, tantangan terberat justru datang dari internal. Sebab, tantangan di medan baru dihadapi saat tantangan internal sudah teratasi. “Ada konflik, kejenuhan, yang berat di latihan dan perencanaan. Putus asa (takut enggak dana), pas sudah dapat dana, tantangan ada di medan,” ujar pria 31 tahun ini kepada Liputan6.com, Rabu (26/10/2016).
Tantangan ini, kata Lutfi, membuat setiap pendaki setidaknya punya tiga modal utama untuk menyelesaikan ekspedisi Seven Summits, yakni mental, kemampuan, dan kondisi fisik. “Faktor mental ini bisa 90-95 persen,” tutur Fajri.
Inilah yang membuat Lutfi angkat topi buat Sabar Gorky. Sebab, butuh usaha lebih untuk mampu menuntaskan ekspedisi dengan satu kaki. “Jelas beban dia lebih berat dari yang normal, tapi kecacatan itu bukan penghalang,” Lutfi menegaskan.