Liputan6.com, Jakarta - Kalangan industri meminta pemerintah menurunkan harga gas. Hal tersebut agar ongkos produksi bisa ditekan dan membuat barang produksi dalam negeri memiliki daya saing. Pengamat menyebutkan bahwa tingginya harga gas saat ini merupakan dampak dari kebijakan masa lalu.
Pengamat ekonomi Faisal Basri mengatakan, pada masa lalu, harga gas alam tidak dikaitkan dengan harga minyak. Jika harga minyak naik tidak langsung serta merta harga gas alam ikut naik. Saat itu, harga gas alam dan harga minyak dihitung berdasarkan keekonomian masing-masing sumur.
Faisal menuturkan, seharusnya, harga gas alam dikaitkan dengan harga minyak. Dengan langkah tersebut maka jika harga minyak turun seperti saat ini maka harga gas alam juga ikut turun.
Baca Juga
Advertisement
"Pada masa lalu harga gas sepenuhnya dikendalikan pemerintah. Tapi sayangnya setiap menteri mengambil kebijakan yang berbeda-beda," kata Faisal, dalam diskusi Tata Kelola BUMN Untuk Kedaulatan Energi, di Jakarta, Kamis (3/11/2016).
Faisal memberikan contoh, pada 2002 lalu, harga gas dari sumur ChonocoPhillips di bawah US$ 2 per MMBTU dan harga gas di sumur Pertamina di bawah US$ 2,5 per MMBTU. Sedangkan harga minyak berada di kisaran US$ 20 per barel.
Kemudian pada Maret 2012 harga minyak naik ke US$ 117,79 per barel. Pada tahun yang sama, pemerintah ikut menaikkan harga gas ChonocoPhillips menjadi US$ 5,44 per MMBTU dan harga gas Pertamina menjadi US$ 5,33 per MMBTU.
Tetapi penurunan harga minyak pada September 2016 menjadi US$ 45 per MMBTU tidak diikuti penurunan harga gas. jika dikaitkan menurut Faisal seharusnya harga gas sekitar US$ 3 per MMBTU. "Kalau Pemerintah konsisten maka harga gas bisa turun US$ 3 per MMBTU," ucap Faisal.
Faisal mengungkapkan, mahalnya harga gas saat ini juga disebabkan oleh penjual gas berlapis yang tidak memiliki fasilitas. Dari 74 penjual hanya ada 13 yang memiliki fasilitas pipa. selain itu, mahalnya harga gas juga karena kebijakan biaya transportasi gas (tol fee). Menurut Faisal, tidak terbangunnya infrastruktur gas tersebut sebagai warisan dari kebijakan pemerintahan di masa lalu.
"Itu dibuat oleh pemerintah sendiri. Bukan pemerintah sekarang, itu dulu ya. Ditambah calo yang tadi saya cerita , sampai yang membolehkan trader ini pemerintah juga," tutup Faisal. (Pew/Gdn)