3 Kisah Nyata Saat Uang 'Tak Lagi Berharga'

Setumpuk uang, dengan nilai fantastis tak punya nilai. Zimbabwe, Jerman, dan Hungaria tahu benar soal itu.

oleh Elin Yunita Kristanti diperbarui 03 Nov 2016, 20:30 WIB
Inflasi ekstrem di Jerman (Wikipedia)

Liputan6.com, Jakarta - Ada suatu masa dalam sejarah manusia ketika uang tak lagi bernilai. Itu bukan kiasan, melainkan kejadian nyata.

Setumpuk uang, dengan nilai fantastis -- jutaan, miliaran, hingga triliunan -- ternyata tak bisa mencukupi apa-apa, kebutuhan paling dasar sekalipun.

Lembaran-lembaran alat tukar itu dibuang dan disapu di jalanan. Atau, karena desainnya yang 'cantik', dijadikan pelapis dinding atau wallpaper.

Kondisi tersebut muncul akibat hiperinflasi, inflasi tak terkendali, ketika harga-harga naik begitu cepat dan nilai uang menurun drastis.

Dari era kuno hingga zaman modern, sejumlah negara mengalami kemerosotan ekonomi akibat perang, depresi ekonomi, dan memanasnya kondisi politik atau sosial.


1. Uang Biru atau Uang Hijau?

Mata uang Hungaria sebelum Perang Dunia II, pengo mengalami hiperinflasi paling parah.

Menjadi medan tempur antara Rusia dan Jerman pada 1944, setengah dari kapasitas industri Hungaria hancur lebur, dan 90 persennya rusak.

Transportasi sulit dilakukan karena rel dan lokomotif tak lagi bisa digunakan. Apa yang tersisa diambil Nazi dan dikembalikan ke Jerman, atau dirampas sebagai pampasan perang oleh pihak Rusia.

Maka, harga pun naik drastis. Nilai barang naik setiap 15 jam. Inflasi perbulan mencapai 12.950.000.000.000.000 persen.

Pemerintah Hungaria memutuskan mencetak uang untuk menstimulasi ekonomi.

Seperti dikutip dari situs Global Financial Data, pada 1946, negara tersebut mengeluarkan pecahan mata uang hingga 100 juta miliar pengo. Betul, 100.000.000.000.000.000.000!

Deretan angka fantastis itu nilainya hanya sekitar 20 sen Amerika Serikat.

Karena tak mungkin mencetak angka nol sebanyak itu pada lembaran duit, pemerintah mengganti nama mata uang.

Pengo digantikan Milpengo (1.000.000 pengo), Bilpengo (1.000.000.000.000 pengo), lalu digantikan lagi dengan Adopengo.

Uang kertas dicetak dengan gambar yang sama, hanya warna yang berbeda. Milliard Milpengo berwarna biru, Milliard Bilpengo hijau.

Rakyat yang menyerah dengan denominasi dan tak mau pusing karenanya. Maka, membeli roti, misalnya, kasir akan menyebut harganya 'dua biru dan satu hijau'.


2. Tisu Toilet Jadi Barang Mewah

Dipicu kebijakan pengambilalihan tanah dari penduduk berkulit putih pada tahun 2000, Zimbabwe mengalami krisis ekonomi yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.

Pada 2016, kertas toilet jadi barang mewah di Zimbabwe. Selembarnya mencapai 471 dolar setempat, satu rol nilainya 145.750.

Dan ini bukan guyonan, sejumlah orang menilai, lebih baik mereka menggunakan lembaran 500 dolar -- pecahan mata uang terkecil -- sehabis buang hajat.

Tak hanya tisu toilet, harga sejumlah kebutuhan khusus melonjak naik seperti roti, margarin, daging, bahkan secangkir teh pada pagi hari. Dan itu belum klimaksnya.

Pada 2008, data resmi yang dikeluarkan menunjukkan angka inflasi tahunan yang luar biasa, mencapai 231 juta persen -- dan kemudian naik hingga 500 miliar persen.

Pada 2009, uang 100 triliun --pecahan tertinggi --bahkan tak bisa membeli tiket bus sekali jalan di ibukota Harare.

Sementara, 100 triliun dolar juga hanya bisa membeli sepotong roti.

Di negara Zimbabwe yang terletak di Benua Afrika, uang sebanyak 100 triliun tidak ada artinya.

Orang-orang antre untuk membeli roti atau produk kebutuhan sehari-hari seperti pasta gigi, membawa tumpukan uang dalam tas-tas besar. Duit sebanyak itu hanya bisa ditukar sedikit barang.

Hiperinflasi di Zimbabwe menyebabkan kelangkaan barang-barang pokok, toko-toko harus mengubah harga barang mereka beberapa kali sehari, dan warga Zimbabwe harus mengangkut uang dengan gerobak.

Meski tak berharga di Zimbabwe, uang dolar mereka laku di pasaran. Untuk dikoleksi.

Pada Juni 2015, Pemerintah Zimbabwe memutuskan untuk menonaktifkan mata uang lokal dan pada saat bersamaan meresmikan sistem penggunan mata uang asing selama periode hiperinflasi.

Warga Zimbabwe bisa menukarkan uang tunai hingga 175 kuadriliun dollar Zimbabwe (Z$175.000.000.000.000.000) untuk US$5.

Namun, pada 2016 ini, pemerintah berencana menerbitkan obligasi yang nilainya setara dolar. Hal itu membangkitkan horor warga.

"Ketakutanku adalah, kami akan mengalami kejadian yang sama pada 2009 lalu," kata Petros Chirenje, seperti dikutip dari News24.

"Aku kehilangan simpanan 17 triliun dolar Zimbabwe di buku tabunganku saat pemerintah beralih ke mata uang asing.


3. Sepotong Roti Berharga 200 Miliar

Pada 6 November 1923, rusuh melanda Republik Weimar gara-gara inflasi ekstrem atau hiperinflasi. Nilai mata uang mark anjlok ke titik tragis, 4.210.500.000.000 per satu dolar Amerika Serikat.

Para perampok, penjambret, dan pencuri berhenti beroperasi. Sebab, uang tak lagi berharga untuk dicuri dan dirampas.

Sepotong roti nilainya mencapai 200 miliar mark, jauh lebih mahal dari harga bulan Januari yang 250 mark. Di hari gajian, para pekerja membawa pulang tumpukan uang dalam tas. Bahkan saking banyaknya sampai harus diangkut dengan gerobak!

Seperti Liputan6.com kutip dari BBC, cerita-cerita unik lagi memprihatinkan pun muncul. "Seseorang lupa meninggalkan koper berisi uang. Saat kembali ke lokasi, ia menemukan uangnya utuh, hanya kopernya yang dicuri."

Harga naik dengan cepat. Seorang bocah yang disuruh orangtuanya membeli 2 roti tergoda untuk main bola. Selesai main, ia menuju toko. Ternyata, uang yang ia bawa hanya bisa membeli 1 roti saja.

Inflasi ekstrem di Jerman

"Seorang ayah menuju Berlin untuk membeli sepasang sepatu. Ketika sampai di sana, dengan uang yang ia bawa, pria itu hanya bisa membeli secangkir kopi dan tiket bus pulang."

Tapi ada juga yang menangguk untung. Misalnya, seseorang yang meminjam uang untuk membeli kawanan ternak. Dan ia cukup menjual 1 sapi untuk melunasi semua utangnya. Para pegawai tetap juga relatif aman, mereka menegosiasikan gaji mereka setiap hari. Gaji diberikan sampai 3 kali sehari, para istri menunggu di luar kantor dan siap menerima dan lalu membelanjakan uang itu secepat mungkin.

Orang-orang bahkan menggunakan uang sebagai bahan bakar, karena nilainya lebih rendah dari batubara dan kayu bakar. Dibakar di kompor atau alat penghangat ruangan. Sementara, para bocah bermain-main dengan tumpukan uang sungguhan. Bukan uang-uangan!

Semua berawal dari perang.

Saat Perang Dunia I pada 31 Juli 1914, Bank Sentral Jerman kala itu, Reichsbank berhenti mengkonversikan uang kertas yang dikeluarkan ke cadangan emas. Setelah itu, tak ada batasan legal berapa uang yang bisa dicetak.

Untuk membiayai perang, pemerintah memilih meminjam uang dalam jumlah besar alih-alih membebankan pajak pada rakyat. Utang itu rencananya akan dibayarkan pihak musuh setelah Jerman memenangkan perang. Namun rencana tinggal rencana. Jerman di pihak yang kalah.

Pascaperang, kebutuhan untuk membayar utang dan merekonstruksi ekonomi setelah Perang Dunia I mengakibatkan pengeluaran pemerintah Jerman jauh melampaui pendapatannya.

Untuk membiayai pengeluarannya, pemerintah mencetak lebih banyak uang. Inflasi tak terelakkan di Republik Weimar -- republik parlementer yang didirikan tahun 1919 pasca tumbangnya monarki.

Utang kepada Prancis akibat kekalahan perang membuat keadaan Jerman semakin parah. Inflasi ekstrem tak terelakan.

Krisis ekonomi bisa teratasi setelah pemerintah Jerman menciptakan bank sentral yang independen dan meluncurkan mata uang baru, rentenmark.

Kekacauan yang dialami Jerman pascaperang ternyata punya efek samping lain: memberi celah bagi munculnya tokoh partai nasionalis sosialis (Nazi): Adolf Hitler yang kelak jadi diktator.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya