Liputan6.com, Jakarta - Jessica Kumala Wongso telah divonis dengan hukuman 20 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas kasus kematian Wayan Mirna Salihin. Namun putusan itu telah melahirkan polemik dan reaksi yang beragam dari masyarakat, tak terkecuali mereka yang tergabung di Asosiasi Advokat Indonesia (AAI).
Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) AAI, Astuti Sitanggang, menilai proses hukum kasus "kopi sianida" selama ini cenderung menonjolkan permainan opini publik dibanding pembuktian fakta. Opini-opini itu bahkan berkembang liar di luar persidangan.
Advertisement
"Selebihnya penegak hukum lebih banyak menggunakan keterangan-keterangan ahli yang dihadirkan oleh masing-masing pihak dalam menentukan apakah terdakwa bersalah atau tidak," ujar Astuti melalui keterangan tertulisnya, Jakarta, Kamis, 3 November 2016.
Padahal, kata dia, seharusnya pembuktian fakta dimaksimalkan oleh penegak hukum dalam memandang suatu kasus secara holistik.
Selain itu, opini publik pun ikut bermain lantaran tingginya ekspose media terkait kasus ini. Bahkan, setidaknya ada tiga stasiun televisi yang menyiarkan secara langsung proses persidangan. Belum lagi beberapa media online terus mem-blow up pemberitaan. Tak sedikit pula yang menyiarkan secara streaming di portal berita mereka.
Tak berhenti di situ, beberapa media massa juga menggelar diskusi-diskusi terkait kasus "kopi sianida" di luar proses persidangan. Akibatnya, independensi persidangan pun terganggu.
"Bahkan pejabat publik dan politisi pun ikut beropini dalam suatu proses persidangan. Sehingga dapat mengakibatkan adanya proses intervensi kekuasaan eksekutif dan legislatif ke dalam kekuasaan lembaga peradilan," tutur dia.
Karena itu, AAI menganggap masih pentingnya dilakukan peningkatan kualitas para profesi hukum di Indonesia. Juga diperlukan adanya perbaikan-perbaikan aturan ke depan dalam suatu proses penegakan hukum.
"Sebab, Indonesia merupakan negara hukum yang menganut sistem hukum negara Eropa kontinental, di mana profesi hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan menjadi sentral dalam proses penegakan hukum," kata Astuti.
Hal itu jelas berbeda dengan negara penganut common law system, di mana peran juri yang terdiri dari orang-orang yang bukan berlatar belakang profesi hukum dapat menjadi penentu dari suatu proses hukum atau persidangan.
"Karena itu, perspektif opini publik yang dikembangkan di luar proses persidangan jelas dapat mengganggu keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusannya," kata dia.
Peran KPI
Tak hanya itu, AAI juga menyoroti peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang dianggap acuh terkait penayangan kasus "kopi sianida" di beberapa stasiun televisi.
"Berbeda dengan kasus Antasari Azhar misalnya, di mana KPI bersikap terhadap tayangan siaran langsung pembacaan dakwaan persidangan Antasari Azhar," ucap Astuti.
Berkaca dari kasus Jessica ini, Astuti menganggap profesi hukum sangat menentukan tegaknya proses peradilan. "Maka dari itu, AAI memandang peningkatan kompetensi pendidikan profesi hukum menjadi relevan," jelas dia.
Terhadap profesi advokat, AAI bersama-sama dengan DIKTI telah membahas standarisasi Kurikulum Pendidikan Profesi Advokat (PKPA). Kemudian AAI juga mendorong pemerintah bersama dengan DPR segera membahas pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru.
Revisi KUHAP diharapkan dapat mengatur lebih lanjut tentang hukum acara persidangan pidana, termasuk dalam hal keterbukaan, peliputan media, serta keterangan ahli sebagai alat bukti, di mana kehadirannya perlu dipanggil melalui pengadilan, bukan dari pihak jaksa atau pengacara.
"Sehingga seorang ahli dalam memberikan keterangannya betul-betul independen dalam menunjang keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusannya," pungkas Astuti.