Jangan Didik Anak Papua dengan Jawasentris

Seorang wanita kelahiran Magelang, Rosa Dahlia, sangat tertarik pada pendidikan di Papua.

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 05 Nov 2016, 17:00 WIB
Hampir 29 kabupaten/kota di Papua memilih menggunakan guru bantu atau guru kontrak untuk mendidik anak usia sekolah hingga ke kampung-kampung. (Liputan6.com/Katharina Janur)

Liputan6.com, Jakarta Seorang wanita kelahiran Magelang, Rosa Dahlia, sangat tertarik pada pendidikan di Papua. Wanita yang kini telah memasuki tahun ke-4 bekerja di Papua ini begitu kritis ketika melihat pendidikan di Papua tak sesuai dengan kurikulum pendidikan di Jawa.

Sejak mengikuti program pendidikan yang mengirim para pengajar di Papua, Rosa makin tenggelam dalam dunianya. Tiga tahun lalu, ia pernah mendapat tugas mengajar di gunung. Ia mengamati banyak sekolah tidak aktif dipergunakan untuk kegiatan belajar mengajar.

"Banyak sekolah yang tidak aktif. Guru juga banyak yang tidak aktif di lokasi sekolah. Lebih banyak guru tinggal di kota dibanding di lokasi. Selain itu, kurikulum yang dipakai Jawasentris," kata Rosa saat berbagi pengalaman dalam acara Festival Orang Muda di Gedung Tempo, Jakarta, Sabtu, (5/11/2016).

Menurut Rosa, kemampuan literasi anak-anak Papua memang kurang, tapi mereka tidak bodoh dan tidak malas. Ia berpendapat anak Papua hanya butuh diberikan pendidikan dan bukan diajar dengan gaya Jawa. Wanita lulusan sastra ini memang menyukai anak-anak.

Pada tahun 2013, ia mengajar di SD Tom, Lanny Jaya. Jumlah siswa ada 30 anak. Sistem sekolah anak berbanding mirip dengan sistem yang diterapkan di Jawa.

"Waktu itu kepala sekolahnya bilang, apa yang ada di Jawa harus ada di papua," katanya.


Gaya Belajar Papua

Rosa bercerita ia pernah mengajar di Distrik Poga, sekolah unggulan. Di sana, ia sangat sulit mengajar bahasa indonesia. Mereka masih terbata-bata.

Akibat melihat sistem sekolah yang Jawasentris, Rosa memberikan pengajaran yang berbeda. Sistem mengajar kreatif yang diajarkan Rosa tidak menjauhkan anak-anak Papua dari daerahnya. "Anak-anak Papua harus dididik dengan gaya Papua, bukan gaya Jawa," katanya.

Rosa Dahlia, pengajar sukarela di papua. Foto: Fitri Haryanti/Liputan6.com

Akhirnya, ia diberhentikan yayasan mengajar karena tidak bisa mengikuti sistem kurikulum yang ditetapkan yayasan. Setelah diberhentikan, ia justru terpanggil ke Papua. Terbang ke Papua dengan biaya pribadi, ia mulai mengaktifkan kembali sekolah di Lualo, Lanny Jaya, yang sempat tidak aktif.

Rosa pun berhasil merekrut guru. Aktivitas Rosa sekarang, ia pindah ke Asmat. Proses masih tahap observasi selama satu bulan. Ia juga menilai sistem sekolah untuk anak Asmat tidak bisa mengakomodasi kebutuhan dengan pendidikan.

Sebagai bagian fasilitas, Rosa membuat sekolah Asmat dengan sekolah perahu. Hal ini karena melihat mereka suka berburu dan melaut. Pengajaran yang diutamakan berupa baca, tulis, dan hitung.

"Saya ingin memberikan kesempatan anak-anak Papua untuk belajar. Sebenarnya saya tidak mendapat dorongan dari orangtua saya untuk mengajar di pedalaman Papua. Tapi saya yakin keberanian untuk mewujudkan akan berhasil," ujarnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya