Liputan6.com, Jakarta - Entah siapa nama bocah itu. Usianya baru 2 tahun saat ditemukan menggelandang sendirian di jalanan dan mengais sampah untuk makan. Kondisinya sangat memprihatinkan. Badannya kurus kering, perutnya penuh cacing.
Bocah itu diduga dibuang oleh orangtuanya sendiri karena dianggap pembawa sial.
Ia dijuluki 'bocah penyihir' atau child witch, yang menurut sebagian warga Nigeria dikutuk atau diberikan kekuatan untuk memicu malapetaka.
Seringnya tuduhan tersebut muncul setelah terjadi kemalangan dalam keluarga, misalnya perkawinan yang gagal, kematian, atau penyakit.
Menurut organisasi kemanusiaan, Safe Child Afrika, para bocah menjadi korban kekerasan, disiksa, bahkan dibunuh. Sekitar 80 persen dari mereka akan lari dari rumah atau ditelantarkan oleh orangtuanya sendiri.
Anja Ringgren Loven, perempuan asal Denmark, mendengar soal nasib bocah tersebut. Ia adalah pendiri organisasi African Children’s Aid Education and Development Foundation (ACAEDF).
Anja kemudian mendatangi korban, membawakan biskuit dan air minum.
"Saat kami mendengar bahwa bocah itu baru berusia 2 sampai 3 tahun, tak ada lagi keraguan (untuk membantunya)," kata dia seperti dikutip dari Huffington Post.
"Anak semuda itu tak bisa bertahan hidup dalam waktu lama sendirian di jalanan."
Fotonya sedang memberi minum bocah yang tinggal tulang terbungkus kulit itu kemudian menyebar ke seluruh dunia. Anja kemudian membungkus bocah itu dengan selimut dan membawanya ke rumah sakit.
Advertisement
Di rumah sakit, anak malang itu diberi obat untuk mengusir cacing-cacing dari perutnya. Ia juga menerima transfusi darah.
Saat dokter menyodorkan tagihan mahal, Anja menerima sumbangan US$ 1 juta dari seluruh dunia.
Anja kemudian merawat bocah itu. Memberikannya perlindungan.
Hanya delapan pekan kemudian, penampilan bocah itu tak lagi bisa dikenali. Tubuhnya makin montok, pipinya tembem, ia difoto sedang tersenyum dan bermain dengan anak-anak lain. Dan anak itu kini punya nama: Hope.
2. Aylan Kurdi
Aylan Kurdi terbaring telungkup di tepi pantai. Wajahnya menyentuh pasir basah. Bocah 3 tahun itu mengenakan kaos warna merah dan celana biru, sepasang sepatu melekat di kaki mungilnya.
Pagi itu polisi menemukan dia dalam kondisi tak bernyawa.
Jasadnya tersapu ombak ke pesisir Semenanjung Bodrum di Turki. Di pantai Ali Hoca Point. Tak jauh dari tempatnya ditemukan, tergeletak jenazah sang kakak Galip (5).
Aylan, Galip dan kedua orangtua mereka menaiki perahu sarat penumpang, yang mengangkut para pengungsi dari Suriah.
Namun, belum sampai ke tujuan, bahtera itu terbalik di Pulau Kos, Yunani. Kedua bocah tak berdaya menghadapi ganasnya lautan, pun dengan ibu mereka, Rehan. Sementara, sang ayah, Abdullah beruntung bisa selamat.
Pria itu mengisahkan, kapal yang mereka naiki terbalik akibat hantaman ombak tinggi. Sang kapten yang panik pilih terjun ke laut, menyelamatkan diri. Kendali kapal diserahkan tangan Abdullah. "Aku mengambil alih kemudi. Namun ombak begitu dahsyat hingga membalikkan kapal," kata dia, kepada Dogan News Agency.
Kematiannya membangkitkan kepedulian terhadap para pengungsi yang melarikan diri dari lokasi konflik, termasuk Suriah.
Advertisement
3. Omran
Bocah itu duduk diam di kursi ambulans berwarna oranye, menanti pertolongan. Tubuhnya kotor berselimut debu, demikian pula dengan kaus bergambar kartun yang dipakainya. Kedua tangan diletakkan di pangkuan. Matanya menatap ke depan, nanar.
Lalu satu tangannya terangkat, menyeka darah yang berlumuran di sisi kiri wajahnya. Meski sakit bukan kepalang, ia bahkan tak sanggup menangis.
"Dia mengalami shock yang ekstrem," kata juru bicara Aleppo Media Center, kelompok aktivis yang menyebarkan rekaman sang bocah ke media sosial, seperti Liputan6.com kutip dari CNN.
Nama bocah itu Omran Daqneesh, usianya sekitar lima tahun, seumur dengan perang saudara yang tak kunjung usai di negaranya, Suriah.
Tim penyelamat menarik tubuh kecil Omran dari puing-puing rumahnya yang hancur kena bom. Anak itu tinggal bersama ibu, ayah, dan saudara-saudaranya di Aleppo. Semuanya terluka dalam pengeboman yang terjadi pada Rabu 17 Agustus 2016.
Para aktivis menuding pihak Rusia dan rezim Suriah bertanggung jawab atas pemboman tersebut.
Aleppo, sebuah kota di wilayah utara Suriah, dalam kondisi terkepung selama bertahun-tahun di tengah perang saudara. Ribuan orang telah tewas, sementara mereka yang selamat harus jungkir balik supaya tetap bisa bertahan hidup.
Meski kondisinya bikin nelangsa, Omran dan keluarganya beruntung masih bernyawa. Ia yang pertama ditarik dari puing-puing, sebelum tim penyelamat mengevakuasi orangtuanya.
4. Napalm Girl
"Nong qua! Nong qua! ... panas, panas!" Seorang gadis cilik berlari telanjang di jalanan desa di Trang Bang, Vietnam, 8 Juni 1972. Ia berteriak sejadinya. Wajahnya menggambarkan kengerian tak terperi.
Jet tempur pihak Vietnam Selatan baru saja menjatuhkan bom napalm -- yang berisi zat kimia berbentuk pasta yang terbakar begitu pecah di darat.
Bom meledak dan mengeluarkan bola api raksasa, menghanguskan apapun dalam radius 100 meter dari pusat ledakan.
Bumi pun berguncang. Panas menyebar, pepohonan membara, api juga menghanguskan pakaian Kim Phuc -- bocah 9 tahun itu, membakar tubuhnya.
Adegan mengerikan tersebut terekam kamera fotografer Nick Ut. Karyanya dianggap menjadi salah satu foto yang mengubah jalannya sejarah. Membalikkan persepsi orang terhadap Perang Vietnam.
Itu adalah foto ikonik, yang membuat sang pewarta foto mendapatkan penghargaan bergengsi Pulitzer.
Kim Phuc -- yang mendunia dengan sebutan 'napalm girl', kemudian meninggalkan Vietnam dan tinggal di Toronto, Kanada bersama keluarganya.
Ia menulis buku dan menjadi Duta UNESCO bagi korban perang yang masih muda. Sekian lama berlalu, kenangan itu masih menghantuinya.
"Aku ingin lepas dari bayangan gadis kecil dalam foto itu," kata Kim Phuc seperti dikutip dari Daily Mail. "Tapi foto itu seakan tak ingin aku pergi."
Advertisement
5. Bocah Kelaparan yang Dinanti Burung Bangkai
Seorang gadis cilik kelaparan yang dinanti burung bangkai. Kisah itu yang digambarkan dalam foto karya Kevin Carter.
Pada Maret 1993, dalam perjalanan ke Sudan, Carter memotret balita kelaparan yang berusaha untuk mencapai lokasi pembagian makanan, ketika seekor burung bangkai mendarat di dekatnya.
Ia diminta tak menyentuh bocah itu, sebab, dikhawatirkan hal itu akan menularkan penyakit. Setelah mengambil gambar, Carter bangkit dan mengusir burung itu.
Foto itu kemudian dijual ke New York Times dan kali pertama dipublikasikan pada 26 Maret 1993 dan menyebar ke seluruh dunia. Dianggap menggambarkan penderitaan di Afrika.
Ratusan orang mengontak kantor media tersebut, mencari tahu nasib si bocah. Dan foto itu pun menjelma jadi kontroversi.
Pada bulan April 1994, foto itu memenangkan Hadiah Pulitzer untuk kategori Feature Photography.
Dua bulan kemudian, fotografer asal Afrika Selatan itu tewas. Ia diduga bunuh diri.
Diduga Carter merasa bersalah akibat foto yang ia abadikan itu.
Setelah diwawancara -- di mana ia mengaku mengusir burung bangkai itu, ia duduk di bawah pohon dalam waktu lama, merokok, dan menangis.
"Kevin selalu membawa beban horor pekerjaan yang ia lakukan," kata sang ayah, seperti dikutip dari situs New York Times.