Liputan6.com, Makassar - Indonesia terdiri dari beragam suku dan budaya. Satu di antaranya Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) yang memiliki beberapa suku besar, yakni suku Bugis, Makassar, dan Toraja.
Meski ketiga suku besar di Sulsel tersebut memiliki ragam tradisi yang berbeda, ada satu yang sama. Yakni, senjata khas yang kemudian disakralkan bernama badik. Senjata tradisional ini juga digunakan suku Mandar di Sulawesi Barat atau Sulbar (pemekaran Provinsi Sulawesi Selatan).
Badik bagi ketiga suku besar di Sulsel tersebut dianggap fungsinya sama, selain dianggap sebagai benda pusaka juga pelindung. Badik digunakan untuk membela harga diri baik sifatnya individu maupun keluarga. Harga diri bagi masyarakat Sulsel dan Sulbar secara umum disebut dengan istilah Siri atau Siri' Na Pacce.
Baca Juga
Advertisement
"Budaya Siri sudah menyatu dalam tingkah laku masyarakat Sulsel yang terdiri dari tiga suku besar tadi, yakni Bugis, Makassar dan Toraja," ucap Puang Nasir seorang tokoh masyarakat di Kabupaten Bone, Sulsel, kepada Liputan6.com, Sabtu (5/11/2016).
Menurut Nasir yang merupakan asli suku Bugis tersebut, dahulunya badik tak bisa lepas dari pinggang seseorang ke mana pun ia pergi. Demikian juga ketika mereka merantau, badik menjadi barang sakral yang wajib ikut dan menemani dalam perantauan.
"Apalagi badik pusaka leluhur, tentunya selain digunakan sebagai jaga diri dari gangguan orang jahat, badik demikian dianggap bisa menolak bala, nah badik pusaka masih diyakini dapat menjadi azimat dan berpengaruh ke arah baik atau buruknya bagi pemilik atau pemegang badik tersebut," ujar Nasir.
Masyarakat Bugis Bone, lanjut Nasir, memiliki macam jenis badik khas. Namun, yang paling dikenal dan disakralkan di Bone adalah badik jenis gecong. Badik ini dahulunya hanya digunakan oleh seorang raja atau bangsawan.
"Badik gecong adalah badik Raja Bone yang paling disakralkan dan hampir di setiap acara adat masyarakat Bone, badik gecong selalu hadir dalam rangkaian diantaranya pencucian badik pusaka raja Bone maupun acara tradisi tolak bala di Bone," Nasir mengungkapkan.
Badik gecong, menurut Nasir, akrab disebut oleh masyarakat Bugis Bone dengan nama kawali. Badik ini asalnya dari daerah bagian selatan Kabupaten Bone yang disebut Kampung Kajuara.
Berdasarkan cerita dan keyakinan masyarakat Kajuara, imbuh dia, badik gecong milik raja tersebut dibuat langsung oleh makhluk halus dan pembuatannya pun di malam hari.
"Orang di Kajuara, Bone percaya badik raja (gecong) dibuat oleh makhluk halus. Di mana pada malam hari pembuatannya hanya didengar suara palu yang terus berbunyi bertalu-talu hingga jelang pagi. Paginya itu badik sudah jadi," kata Nasir.
Badik gecong, Nasir menambahkan, ukurannya hanya berkisar 20-25 sentimeter. Adapun cirinya mirip sama dengan badik khas suku Makassar yang bernama badik Lompo Battang (perut besar). Hanya saja, bilahnya agak membungkuk, di mana hulunya agak kecil dan melebar selanjutnya bagian ujung sangat meruncing.
Pada umumnya, badik gecong yang pada masa lalu hanya digunakan oleh raja maupun bangsawan suku Bugis Bone tersebut berbahan besi dan bajanya berkualitas tinggi serta mengandung meteorit yang tampak menonjol pada permukaannya.
"Badik gecong ini mempunyai pamor yang disebut oleh masyarakat Bugis sebagai timpalaja atau mallasoancale yang letaknya dekat hulunya. Bahannya pun dari besi baja yang berkualitas tinggi serta mengandung meteorit yang menonjol di permukaan," Nasir menjelaskan.
Selain badik gecong, masyarakat Bugis Bone, menurut Nasir, juga mengenal badik jenis Lagecong. Senjata ini dikenal sebagai badik perang. Di mana badik tersebut memiliki racun yang mematikan.
"Jenis badik lagecong paling banyak dicari karena sangat dikenal dengan badik paling mematikan atau masyarakat bugis pada umumnya kenal dengan mosonya atau racunnya," Nasir menerangkan.
Badik lagecong hingga saat ini jadi buruan karena diyakini bisa menaklukkan semua senjata lainnya jika berhadapan dengan badik lagecong.
"Iya, banyak orang percaya demikian bahwa semua alat perang akan tunduk pada badik lagecong tersebut," Nasir mengungkapkan.
Menurut Nasir, badik lagecong diambil dari nama sang empu atau masyarakat Bugis kenal dengan sebutan Pandre yang kala itu bernama lagecong. Namun, ada juga yang berpendapat badik jenis lagecong diambil dari bahasa Bugis, "Gecong" atau "Geco" yang bermakna sekali sentuh langsung mati.
"Sampai saat ini masih banyak yang percaya kalau badik lagecong yang asli terbuat dari daun nipah yang terapung di air dan melawan arus," tokoh masyarakat Bone atau Bugis itu memungkasi.