Liputan6.com, Jambi - Sepanjang 2016 ini, Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Jambi menangani 11 kasus perdagangan satwa liar dilindungi. Mulai dari kulit harimau, tenggiling (trenggiling) hingga gading gajah.
Hanya saja, karena keterbatasan dana dari pemerintah dan masih minimnya petugas polisi hutan (polhut) menyebabkan pengamanan satwa liar dilindungi masih belum maksimal.
"Ada dua juta hektare lahan yang harus diawasi. Sementara kita (BKSDA) hanya memiliki 19 personel polhut mengawasinya," ujar staf BKSDA Jambi, Krismanko di Jambi, Sabtu, 5 November 2016.
Bahkan, untuk menghitung jumlah populasi satwa langka saja, BKSDA Jambi tidak mampu melaksanakannya. Itu disebabkan keterbatasan dana yang dikucurkan oleh pemerintah dalam upaya pelaksanaan konservasi.
Krismanko mengatakan, kasus perdagangan dan perburuan satwa dilindungi paling menonjol adalah temuan di Kabupaten Batanghari. Yakni, gudang penampungan 2,5 ton daging tenggiling yang siap diselundupkan ke luar negeri oleh pelaku warga negara Malaysia.
Baca Juga
Advertisement
Kemudian ada kasus tangkapan polisi atas 35 ekor tenggiling hidup yang akan dikirim ke Medan, Sumatera Utara. Puluhan tenggiling itu kini dititipkan di BKSDA Jambi untuk perawatan dan akan dilepaskan ke habitatnya.
"Saya berharap tenggiling hidup ini bisa segera disetujui oleh kejaksaan dan kehakiman untuk segera dilepasliarkan ke habitatnya dalam hutan," ujar dia.
Sementara itu, dari hasil penyelidikan BKSDA, Provinsi Jambi sebenarnya belum termasuk daerah dengan perdagangan dan perburuan yang tinggi. Dimana kasus perburuan dan perdagangan satwa tinggi ada di Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Sumatera Utara serta Riau.
Khusus di Jambi, perburuan satwa liar dilindungi tersebut berada di beberapa kawasan hutan taman nasional. Di antaranya ada di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD), Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT)