Liputan6.com, Cirebon - Cirebon merupakan daerah di kawasan pantura yang memiliki beragam kekayaan kuliner khas. Sebagian besar kuliner yang ada di Cirebon, Jawa barat, bahkan memiliki cerita dan perjalanan panjang.
Namun, beberapa kuliner khas Cirebon ini justru semakin terkikis oleh perkembangan zaman. Satu di antaranya satai kalong. Kuliner yang selalu ada saat malam hari ini belakangan semakin sulit ditemui.
Salah seorang penjual satai kalong Cirebon, Sujana menjelaskan, asal mula dinamakan satai kalong karena dijualnya pada malam hari.
"Dulu penjual satai kalong mulai berkeliling selepas azan dan salat magrib sampai jam 12 malam paling cepat. Dari situ masyarakat menyebutnya satai kalong karena jualannya malam seperti kalong," ucap Sujana (70), salah satu dari penjual satai kalong di Cirebon, Jumat malam, 4 November 2016.
Lelaki yang akrab disapa Joni ini menyebutkan, dulu banyak penjual satai kalong di Kota Cirebon. Bahkan, lelaki kelahiran 1943 ini mengaku selalu berpindah-pindah dalam mencari rezeki.
Baca Juga
Advertisement
Tidak sedikit, pada masa itu (sekitar Perang Kemerdekaan, tahun 1945-1949) tentara Belanda banyak menjadi pelanggan Joni maupun penjual satai kalong yang lain. Dia menuturkan, meski kuliner ini dinamakan satai kalong, satai tersebut bukan terbuat dari hewan kelelawar yang biasa beraktivitas di malam hari.
"Bahannya sendiri terbuat dari daging kerbau atau sapi, kalau bukan kerbau ya sapi," ujar Sujana, yang kini menetap berjualan di kawasan Kesambi, Kota Cirebon.
Dia menyebutkan, dalam membuat satai kalong, daging kerbau atau sapi sebagai bahan utama harus benar-benar segar dan tidak bisa sembarangan. Sebab, jika tidak daging tersebut tidak bisa menyatu saat digiling.
Daging yang sudah digiling kemudian direbus, setelah didapatkan tingkat kematangan yang diinginkan, daging pun dipotong-potong kecil lalu ditusuk. Daging ditusuk bersama daging, urat ditusuk bersama urat. Sebelum proses pembakaran, daging kerbau dicelupkan ke bumbu rempah-rempah yang dicampur gula, sehingga akan berasa sedikit manis.
Pilihan Rasa Manis dan Asin
Sedangkan satai dari urat, sebelum dibakar, juga akan dicelupkan ke bumbu beraroma rempah-rempah, tapi dengan rasa asin. "Sehingga orang bisa memilih, mau yang asin atau manis. Memang dagingnya digiling dulu, kalau bukan daging segar tidak akan menyatu," ujar dia.
Tidak sedikit pengunjung yang mengombinasikan keduanya, rasa asin dan manis di satu piring sajian. Selesai dibakar, satai diletakkan di atas bumbu kacang. Istimewanya, kacang dicampur dengan oncom. Setelah itu, satai diguyur dengan kaldu.
Satai kalong Mang Joni kaya dengan rasa rempah dan nikmat untuk dimakan. "Kaldu ini berasal dari air rebusan daging kerbau tadi yang sudah dicampur dengan berbagai bumbu dan rempah," kata dia.
Harga satai kalong Sujana yang lebih dikenal Mang Joni tersebut cukup murah, hanya Rp 1.000 per tusuknya.
Dalam sehari, satai kalong Mang Joni bisa habis sampai 600 tusuk. "Buka setiap hari dari pukul 19.00 WIB sampai pukul 23.00 WIB. Kalau hari minggu sampai pukul 00.00 WIB, gantian sama anak," kata dia.
Bahkan, satai kalong Mang Joni sudah melanglang buana hingga ke negeri Belanda. Salah seorang warga Cirebon yang kini menetap di Belanda selalu membawa satai kalong Mang Joni sebagai oleh-oleh setiap kali pulang ke Cirebon.
"Dua tahun lalu pernah diundang untuk menyajikan satai kalong di acara halalbihalal Bupati Lampung. Setelah itu ada yang ngundang lagi untuk acara ulang tahun. Bahkan, semasa Gubernur Jabar dijabat Pak Yogie (Yogie S Memet) seminggu sekali saya ke Bandung bersama rombongan Pemkot Cirebon. Pernah juga diundang ke TMII untuk acara penjamuan makan rombongan duta besar negara tetangga," tutur dia.
Ia pun pernah menerima pesanan sampai 10 ribu tusuk satai untuk dihidangkan dalam sebuah acara. Menurut dia, proses pembuatannya pun memakan waktu hingga satu minggu.
"Sekarang bisa delivery order juga, kalau jumlah pesanan sesuai biar saya membayar tukang tukang ojek mengantarkan pesanan," sang penjual satai kalong itu memungkasi.
Advertisement