Liputan6.com, Bengkulu - Jemari Nji Soemaryatin masih lincah memainkan canting dan melukis lilin malam di atas kain yang sudah ditulis kaligrafi Arab dengan ornamen bunga Rafflesia arnoldii.
Sembari duduk di atas dingklik, perempuan 70 tahun itu sesekali mengembuskan nafas ke nyamplungan untuk sedikit mendinginkan lilin yang diambil dari wajan yang menyala di atas kompor kecil. Ujung canting atau cucuk terus dimainkan di atas kain sambil sesekali dipoles ke atas taplak yang disisipkan di antara gandul.
Nji Soemaryatin merupakan sosok pelestari batik khas Bengkulu yang biasa disebut kain besurek. Meski saat ini mengaku para pengguna batik lebih banyak memilih menggunakan produk dari industri massal, dia tetap bertahan melestarikan batik tulis.
"Roh kain besurek itu adalah kaligrafi yang tidak bisa dibaca dan motif Rafflesia. Jika bicara batik, ya ini, batik tulis," ujar Soemaryatin sambil membenarkan gawangan di ruang kerja belakang rumahnya, Minggu, 6 November 2016.
Meskipun usaha yang dirintis bersama almarhum suaminya itu saat ini sudah diwariskan kepada putranya, Doni Roesmandani, ia tetap membatik hampir setiap hari. Di tengah gempuran industri kain besurek cetak, dia mengaku masih bisa bertahan meski saat ini dari 30 orang karyawannya hanya tersisa tiga orang saja.
Sebab, dia percaya para pencinta batik kain besurek akan tetap mencari produk yang berkualitas dan bernilai seni tinggi. "Soal harga, memang jauh lebih mahal, tetapi yang kami jual adalah proses dan seni serta daya tahan yang sangat berbeda dengan produksi industri," kata Soemaryatin.
Baca Juga
Advertisement
Buah karya Soemaryatin pernah digunakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat membuka MTQ di Bengkulu. Putri Bung Karno, Sukmawati Soekarnoputri, bahkan pernah memesan secara khusus dengan mencantumkan namanya di atas kain yang ditulis tangan olehnya.
"Selain SBY dan Ibu Sukmawati, karya tangan saya ini juga pernah digunakan istri Wakil Presiden Tri Sutrisno dan istri Menlu Ali Alatas," ujar dia.
Putra Soemaryatin, Doni Roesmandani, mengaku pada pertengahan 90-an, pemerintah Bengkulu sangat gencar mendampingi perajin kain besurek. Bahkan para pejabat di daerah ini diharuskan mengenakan batik Bengkulu setiap hari Kamis. Namun saat ini, meskipun aturan tetap berlaku, bahkan seluruh siswa sekolah juga diwajibkan mengenakan kain besurek, tetapi mereka lebih memilih produk massal yang didatangkan dari Pulau Jawa.
"Saat ini paling banyak tiga orang saja yang bertahan, sisanya lebih memilih memasarkan produk industri dari Jawa," kata Doni.
Ketua Komisi II DPRD Kota Bengkulu Suimi Fales berjanji akan lebih peduli terhadap para perajin batik tulis kain besurek ini dengan mendorong pemerintah daerah, khususnya wali kota, supaya membuat aturan khusus terhadap batik lokal.
"Jika perlu kita akan buat perda yang mewajibkan penggunaan batik tulis, juga untuk suvenir bagi setiap tamu daerah yang berkunjung ke sini," kata Suimi Fales.