Taman Bermain Jadi Saksi Bisu Horor Pembantaian Rezim Assad

Taman bermain yang sejatinya penuh dengan gelak tawa, namun suara riang itu berubah menjadi tangis dan jeritan kesakitan.

oleh Tanti Yulianingsih diperbarui 07 Nov 2016, 15:30 WIB
Salah satu barang yang dikenakan anak-anak di taman bermain dan rusak terkena bom. (Reuters)

Liputan6.com, Harasta - Tak ada lagi tawa riang terdengar dari ruangan berisi mainan anak-anak ini. Darah bersimbah di mana-mana.

Tempat itu menjadi saksi bisu pembantaian yang dilakukan rezim Presiden Bashar Al Assad. Saat bom meledak di salah satu taman bermain di Suriah.

Anak-anak yang tengah bermain dengan damai saat istirahat pertama, menjadi korban ketika pasukan pemerintah meluncurkan mortir di tempat bermain mereka.

Tak lama kemudian, beredar foto menyayat hati dari tempat kejadian. Potret anak-anak berlumuran darah di kota yang dikuasai pemberontak, Harasta. Di pinggiran pedesaan Damaskus.

Salah satu yang membuat pilu hati adalah saat seorang bocah mengernyit kesakitan kala dokter memeriksa bagian hatinya. Wajahnya pucat pasi, bersimbah darah, terlihat menahan rasa sakit.

Gambar lainnya yang membuat miris adalah pandangan nanar bocah perempuan yang terluka ke arah kamera. Tanpa kata, ia menyiratkan kondisi mengerikan di kota tempat tinggalnya.

Bocah Suriah korban bom rezim Presiden Bashar al-Assad. (Reuters)

Sementara potret lainnya adalah mainan anak-anak yang berserakan di atas lantai berlumuran darah.

"Sebanyak 17 orang, kebanyakan dari mereka anak-anak, terluka dalam serangan tersebut," kata Observatorium Suriah yang berbasis di Inggris pemantau Hak Asasi Manusia seperti dikutip dari Daily Mail, Senin (7/11/2016).

Laporan media lokal mengklaim pasukan yang setia kepada pemerintah menembakkan artileri ke taman bermain saat pukul 10.00 waktu setempat.

Kelompok relawan penyelamat, Syrian Civil Defence force atau Pertahanan Sipil Suriah yang juga dikenal sebagai The White Helmet, ada di lokasi kejadian.

Salah satu anak yang tewas mereka sebut sebagai Jihad Qadado, putra martir anggota pasukan tersebut, Abdulfatah Qadado.

Gambar lain yang tak kalah menyedihkan adalah saat satu anak perempuan berbaring di tempat tidur di sebuah rumah sakit darurat. Wajahnya berlumuran darah dan pakaiannya robek.

Di utara kota Aleppo, warga diajak oleh Reuters melihat korban bom yang menewaskan ratusan orang pada akhir September dan awal Oktober. Akibat pemerintah dan sekutu Rusia yang ditinggalkan gencatan senjata untuk memulai serangan mereka di daerah perkotaan terbesar di tangan oposisi.

"Tidak ada yang bisa dilakukan. Tidak ada yang bisa menghentikan pesawat, "kata Bebars Mishal, seorang pejabat dengan 'helm putih' di timur Aleppo, yang menggali korban dari reruntuhan dan menjalankan layanan ambulans.

Dia mengatakan tidak ada cara bagi pekerja penyelamat atau staf medis untuk mempersiapkan terlebih dahulu dari dimulainya kembali diharapkan dari serangan: "Yang bisa kita lakukan adalah mengambil tindakan pencegahan dan siap 24 jam sehari."

Pemerintah dan sekutu Rusia mengatakan mereka hanya menargetkan militan, dan anggota mereka yang harus disalahkan atas korban sipil yang berjatuhan karena mereka beroperasi di daerah-daerah yang banyak dihuni penduduk.

Negara-negara Barat mengatakan pengeboman itu menargetkan rumah sakit, pekerja bantuan dan toko roti. Washington menuduh Moskow melakukan 'kejahatan perang'.

Pemberontak mengatakan tujuannya adalah untuk mengusir warga sipil, sekitar 275.000 di antaranya saat ini masih berada di zona yang dikepung.

Lebih dari 11 juta orang, hampir setengah populasi Suriah, telah diusir dari rumah mereka oleh perang sejak 2011. Termasuk 5 juta orang yang melarikan diri ke luar negeri sebagai pengungsi.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya