Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah menggulirkan rencana asuransi pengangguran, terutama bagi pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Atas rencana tersebut, pengusaha sudah mengingatkan pemerintah untuk tidak membebankan tanggungan asuransi tersebut kepada dunia usaha.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro usai menghadiri ASEAN G2B Infrastructure Investment Forum 2016 mengungkapkan, asuransi pengangguran baru sebatas wacana. Pihaknya belum melakukan kajian apa pun terkait hal tersebut.
"Asuransi pengangguran baru wacana. Tapi itu buat bantalan untuk waktu tertentu dengan jumlah tertentu, supaya tidak terlalu berat ekonominya," kata dia saat ditemui di Hotel Shangri La, Jakarta, Selasa (8/11/2016).
Saat ditanyakan lebih jauh mengenai berapa besarannya dan apakah ditanggung pemerintah atau pengusaha, Bambang enggan menjawabnya. "Itu masih wacana," ujar Mantan Menteri Keuangan itu.
Baca Juga
Advertisement
Dimintakan pendapat ihwal rencana asuransi pengangguran, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Rosan P Roeslani, di tempat yang sama meminta kepada pemerintah supaya asuransi pengangguran tidak menjadi tanggung jawab pengusaha.
"Jangan dibebankan lagi, dong, ke dunia usaha. Sudah ada BPJS Ketenagakerjaan, BPJS Kesehatan, Tapera, dan kalau dibebankan lagi ke pengusaha, saya tidak tahu lagi deh bagaimana," ucap Rosan.
Dia menuturkan, terlalu banyak jaminan sosial ganda yang ditanggung pengusaha dan akhirnya memberatkan dunia usaha. Untuk asuransi pengangguran, Rosan berharap bantuan tersebut murni tanggung jawab pemerintah.
"Harus full dari pemerintah dananya. Kalau mau ada pengalihan dana BPJS Ketenagakerjaan, silakan saja. Yang penting jangan ada duplikasi lagi karena Tapera sudah duplikasi. Katanya harus kompetitif," Rosan menerangkan.
Dia mengingatkan kepada pemerintah agar wacana asuransi kebijakan tidak menimbulkan moral hazard. Pemerintah perlu melakukan kajian dengan matang, termasuk dampak positif dan negatifnya bila kebijakan tersebut terealisasi.
"Jangan ada moral hazard karena ada jaminan asuransi. Analisanya mesti tajam, diteliti lebih dalam, jangan beban dunia usaha lagi," saran Rosan. (Fik/Ahm)