6 Perempuan Pertama yang Jadi Kepala Negara, Hillary Selanjutnya?

Layaknya 6 perempuan berikut yang menjadi perempuan pertama yang menjabat sebagai kepala negara, akankah Hillary Clinton mengikuti jejaknya?

oleh Citra Dewi diperbarui 08 Nov 2016, 20:15 WIB
Hillary Clinton (AP Photo)

Liputan6.com, Washington DC - Hillary Clinton menjadi perempuan pertama sepanjang sejarah Amerika Serikat digadang-gadang bakal jadi calon presiden AS berikutnya. 

Sebelumnya, ia juga mencatatkan sejarah dengan menjadi perempuan pertama dalam 240 tahun politik AS yang mendapatkan tiket capres AS di Partai Demokrat.

Calon Presiden AS dari Partai Demokrat itu  memiliki peluang 90 persen untuk mengalahkan Capres dari Partai Republik Donald Trump.

Prediksi yang dikeluarkan oleh Reuters/Ipsos States of the Nation tersebut secara kasar sama dengan peluang yang diumumkan pekan lalu.

Dikutip dari Independent, Selasa (8/11/2016), Mantan Menteri Luar Negeri AS itu mengungguli Trump sekitar 45 hingga 42 persen untuk popular vote dan diprediksi akan memenangkan 303 suara di electoral college, sedangkan Trump hanya meraih 235 suara.

Electoral college adalah penentuan kemenangan seorang kandidat. Jumlah tiap electoral collage tiap negara bagian berbeda, di mana terdapat negara bagian yang menentukan kemenangan capres.

Berdasarkan jajak pendapat, Hillary mengungguli Trump di Florida dengan perbedaan tipis, yakni sebesar 48 hingga 47 persen. Di negara bagian tersebut, Hillary memimpin Trump sebanyak 75 poin dalam pemilih kulit hitam dan 20 poin di kalangan Hispanik.

Sementara itu pada jejak pendapat di Arizona, Trump mengungguli Hillary sebanyak 5 poin. Namun negara bagian itu telah bergerak mantap untuk mendukung Hillary dalam beberapa pekan terakhir.

Jika Hillary menang dalam Pemilihan Presiden AS yang akan dilangsungkan pada 8 November waktu setempat (atau 9 November waktu Indonesia), ia kembali mencetak sejarah dengan menjadi presiden perempuan pertama Amerika Serikat.

Namun, sejumlah perempuan berikut telah menorehkan sejarahnya dengan menjadi perempuan pertama yang menjabat sebagai kepala negara. Dikutip dari Encyclopedia Britannica, berikut enam di antaranya:


1. Khertek Anchimaa-Toka

Khertek Anchimaa-Toka (Wikipedia)

Khertek Anchimaa-Toka bertugas sebagia Kepala Parlemen Republik Rakyat Tuva sejak 1940 hingga 1944. Ia menjadi perempuan pertama di dunia yang terpilih menjadi kepala negara.

Pada usia 18 atau 19 tahum Anchimaa bersama dengan 75 pemuda Tuva lainnya diberi kesempatan untuk belajar di Moskow, di mana ia termasuk ke dalam 11 dari 76 orang yang lulus dari Communist University of the Toilers of the East.

Itu merupakan kesempatannya untuk belajar ideologi Stalinisme dan mempelajari politik, di mana membuatnya meraih posisi sejumlah kepemimpinan di Partai Revolusioner Rakyat Tuva ketika ia kembali ke negaranya. Di sana, ia berfokus dalam upaya perbaikan dan pendidikan perempuan.

Setelah terpilih menjadi ketua, Anchimaa memimpin Tuva dalam Perang Dunia II pada 1941 dan sebagian besar membantu pasukan Soviet. Dia bertindak sebagai kepala negara di Tuva sampai negara itu bergabung ke dalam Uni Soviet melalui pemungutan suara pada 1944.

Karirnya tak berhenti sampai di sana. Anchimma pun menjabat sebagai Wakil Ketua Komite Eksekutif Tuvan hingga 1961.


2. Vigdis Finnbogadottir

Vigdis Finnbogadottir (iceland.is)

Vigdis Finnbogadottir terpilih sebagai Presiden Islandia pada 1980, di mana hal itu memecahkan sejumlah rekor. Finnbogadottir merupakan presiden perempuan pertama di Islandia, kepala negara perempuan pertama di Eropa, dan menjadi perempuan pertama di dunia yang terpilih sebagai presiden melalui pemilihan umum.

Dengan waktu kepemimpinan mencapai 16 tahun, ia juga menjadi kepala negara perempuan terlama di seluruh dunia.

Kekuasaan Finnbogadottir mulai terlihat setelah ia bertugas sebagai Direktur Reykjavik Theatre Company. Dengan gelar sarjana Prancis dari University of Iceland dan gelar mengajar, ia mendapatkan ketenaran nasional sebagai bintang program pendidikan yang dibuatnya untuk televisi Pemerintah Islandia.

Ia memenangkan pemilu pertama pada 1980 dengan mengalahkan tiga kandidat laki-laki lain dengan berfokus pada program pendidikan dan kebudayaan. Finnbogadottir kemudian menjalankan tugasnya sebagai presiden pada tiga periode berikutnya, yakni melangkah tanpa lawan pada 1984 dan 1992 serta memenangkan 92 persen suara pada pemilu 1988.

Sebagai Presiden, Finnbogadottir menyoroti tentang pentingnya mempertahankan dan merayakan identitas budaya dan warisan Islandia melalui bahasa dan adat istiadat. Setelah melepas jabatannya sebagai presiden, ia mendirikan Council of Women World Leaders pada 1996 dan banyak mendapat penghargaan untuk pekerjaan kemanusiaan dan promosi nilai-nilai budaya.


3. Isabel Peron

Isabel Peron (Wikipedia)

Isabel Peron menjabat sebagai Wakil Presiden Argentina pada 1973-1974 dan menggantikan posisi suaminya sebagai presiden, Juan Peron, sebagai setelah kematiannya. Peron menjabat sebagai presiden dari tahun 1974 hingga 1976.

Ia merupakan kepala negara perempuan pertama di Argentina sekaligus di Amerika Selatan. Peron juga menjadi presiden perempuan pertama di dunia, meskipun jabatannya itu tak ia dapat melalui pemilihan umum.

Jauh sebelum menjadi presiden, keinginan Peron untuk bekerja dalam bisnis pertunjukan dan tarian memberikan indikasi atas masa depannya sebagai seorang perempuan terkemuka.

Namun ketika ia bertemu dengan calon suaminya, Juan Peron, yang merupakan politikus ternama Argentina pada 1955 atau 1956, ia memutuskan untuk menghentikan karirnya untuk bekerja bersama Juan sebagai sekretarisnya. Keputusan itu membuka jalan kekuasaan bagi dirinya.

Keduanya menikah pada 1961 dan terpilih menjadi presiden dan wakil presiden Argentina pada 1973. Sepeninggal suaminya, Peron menggantikan posisinya. Namun Argentina harus menghadapi ketidakstabilan ekonomi dan kerusuhan politik.

Peron diminta untuk mengundurkan diri sebagai presiden setelah ia dituduh melakukan korupsi terkait dengan Argentine Anticommunist Alliance, yakni organisasi ilegal yang diduga dipimpin oleh penasihat dekat Peron, Jose Lopes Rega.

Namun Peron menolak untuk mengundurkan diri. Kudeta militer pun terjadi dan menyebabkan Peron ditahan selama lima tahun sebelum akhirnya ia diasingkan di Spanyol.

Pada 2007 ia didakwa telah mengizinkan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Argentine Anticommunist Alliance saat menjadi presiden. Namun Spanyol menolak mengekstradisinya untuk menjalani persidangan.


4. Corazon Aquino

Corazon Aquino (Wikipedia)

Corazon Aquino menjabat sebagai Presiden Filipina pada 1986 hingga 1992. Ia merupakan presiden perempuan pertama untuk negara itu dan juga Asia.

Aquino dikenal karena peran revolusionernya dalam mengembalikan pemerintahan demokratis ke Filipina dengan menggantikan rezim otoriter Ferdinand Marcos.

Aquino lulus dari Mount St. Vincent College di New York City pada 1954. Tak lama kemudian, ia menikah dengan politikus Benigno Simeon Aquino, Jr dan mengikuti jejak suaminya di ranah politik.

Setelah suaminya meninggal akibat dibunuh pada 1983, Aquino mengikuti pemilihan presiden pada 1986 dengan rival Ferdinand Marcos. Meskipun Marcos dilaporkan memenangkan pemilu, namun Aquiuno dan partainya menantang hasil tersebut dan dinobatkan sebagai presiden yang sah oleh Militer Filipina.

Segera setelah menjabat sebagai presiden, Aquino mulai bekerja untuk membuat konstitusi baru dan mengembalikan kongres dua kamar (bikameral). Sebagai presiden, ia berfokus untuk menstabilkan ekonomi dan menegakkan kebebasan sipil serta hak asasi manusia.

Aquino memutuskan untuk tak mencalonkan diri lagi pada 1992, di mana ia mencoba untuk bertindak sebagai contoh bagi presiden masa depan yang memungkinkan adanya perubahan kekuasaan dan melihat pentingnya kehendak demokrasi rakyat.


5. Pratibha Patil

Pratibha Patil (Wikipedia)

Pratibha Patil menjabat sebagai Presiden India pada 2007 hingga 2012, di mana ia menjadi kepala negara perempuan pertama di negera tersebut. Patil mulai memasuki ranah politik India sejak 1962, ketika ia terpilih untuk menempati posisi di dewan legislatif Maharashtra pada usia 27.

Meski telah berkecimpung di dunia politik dalam waktu lama, ia dikenal sebagai sosok yang low-profile. Namun ketika menjabat sebagai presiden, dirinya menuai sejumlah kontroversi.

Patil dilaporkan menghabiskan banyak uang dan menjadi presiden India yang paling sering menghabiskan uang untuk berpergian ke luar negeri dengan keluarganya.

Usahanya untuk menggunakan dana pemerintah dan memperoleh tanah militer India untuk membangun rumah pensiun untuk dirinya menjadi keputusan kontroversial.


6. Ellen Johnson Sirleaf

Ellen Johnson Sirleaf (Reuters)

Ellen Johnson Sirleaf terpilih menjadi Presiden Liberia pada 2006. Ia menjadi presiden perempuan pertama di negaranya sekaligus di Afrika.

Johnson Sirleaf dikenal karena perannya dalam memperkuat lanskap ekonomi, politik, dan sosial Liberia setelah bertahun-tahun negara itu dilanda perang sipil. Ia juga pernah mendapatkan Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 2011 atas upayanya untuk membela hak-hak perempuan.

Ia menerima gelar sarjana di bidang ekonomi dari University of Colorado Boulder, gelar sarjana di bidang akuntansi dari Madison Business College, dan gelar master dalam administrasi publik dari Harvard.

Johnson Sirleaf menjabat sebagai asisten Menteri Keuangan Liberia di bawah kepresidenan William Tolbert sampai ia digulingkan pada tahun 1980. Sementara dirinya diasingkan di Kenya dan Amerika Serikat selama perang, Johnson Sirleaf mengasah keahliannya sebagai seorang ekonom dan bekerja untuk lembaga seperti Bank Dunia dan Citibank.

Kembali ke Liberia setelah perang sipil kedua di Liberia reda, ia menggunakan pendidikan dan pengalamannya sebagai seorang ekonom dan politik untuk maju dalam pemilihan presiden.

Ketika terpilih pada 2006, ia menyiapkan langkah-langkah untuk membebaskan Liberia dari seluruh hutangnya dan memperoleh bantuan internasional untuk membangun kembali negara itu. Ia juga mendirikan Truth and Reconciliation Committee untuk mendorong perdamaian dan menjembatani perbedaan yang terjadi dalam perang sipil.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya