Liputan6.com, Jambi - Tak hanya menimbulkan belasan korban jiwa, penambangan liar juga merusak ekosistem di Jambi. Indra (35), warga Pasar Bawah, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi, menuturkan sekitar tiga sampai lima tahun lalu, Sungai Batang Masumai yang merupakan anak Sungai Batanghari masih terlihat jernih.
Seiring maraknya "demam" emas di Kabupaten Merangin, air Sungai Masumai makin hari makin keruh kecokelatan.
"Kalau begini, siapa yang mau ke sungai," kata Indra di Jambi, Rabu (9/11/2016).
Menurut Indra, aktivitas penambangan emas liar di Merangin amat merajalela. Tak hanya menggunakan alat tradisional saja, sejumlah pelaku bahkan berani mengoperasikan puluhan alat berat di sepanjang daerah aliran sungai di daerah itu.
Jarak kawasan penambangan liar ke kawasan Pasar Bawah yang berada di Kota Bangko (ibu kota Kabupaten Merangin) hanya sekitar 40 kilometer.
Baca Juga
Advertisement
Sungai-sungai yang banyak terdapat aktivitas penambangan liar ditandai dengan warna air yang keruh kecoklatan. Sementara, apabila ada aliran sungai terlihat jernih kebiruan, dipastikan tidak ada aktivitas penambangan liar.
"Itu kenapa sepanjang aliran sungai disini (Merangin) ke arah Kabupaten Sarolangun itu terlihat dua warna," tutur Indra.
Sementara itu, Suhendra (40), salah seorang petani keramba ikan di daerah Sungai Duren, Kabupaten Muarojambi, mengaku banyak ikan-ikan mati di keramba. Ia menduga kematian ikan-ikan miliknya lantaran keruhnya air Sungai Batanghari yang berasal dari aktivitas penambangan liar di daerah hulu sungai.
Menurut Suhendra, kala tengah hari sekitar pukul dua siang, air Sungai Batanghari di daerah Sungai Duren berubah keruh menjadi cokelat pekat.
Akibatnya, hampir tiap hari ikan di keramba milik Suhendra ada saja yang mati. "Kalau begini terus bisa rugi saya," kata dia.
Tercemar Merkuri
Hasil penelitian Pusat Pengelolaan Ekoregion Sumatera (PPES) Kementerian Lingkungan Hidup pada 2014 lalu menyebutkan, air Sungai Batanghari bukan lagi terjadi keasaman (pH), tapi memang banyak mengandung merkuri. Toleransi Merkuri itu, kata dia, hanya 0,000.
"Sangat berbahaya, bukan pH lagi. Ini sudah banyak mengandung air raksa. Merkuri itu toleransinya kecil, jika lewat toleransi itu tentu berbahaya," kata Kepala PPES, Kementerian Lingkungan Hidup, Amral Fery, di Jambi, Oktober 2014 lalu.
Amral menyebutkan, salah satu bahaya merkuri adalah risiko kehilangan anggota tubuhnya. Ia mengingatkan akan kasus merkuri di Kota Minamata, Jepang, di mana banyak sekali korban akibat keracunan merkuri.
"Merkuri ini logam berat yang sangat berbahaya," kata Amral.
Untuk menanggulangi dan mencegah dampak bahaya merkuri itu, Amral menyarankan agar ke depan pemerintah provinsi dan kabupaten dapat saling bekerja sama, begitu juga dengan masyarakatnya. "Jika kerja sama pencegahan terjalin selama tiga tahun saja, hasilnya akan tampak," kata dia.
Advertisement