Liputan6.com, Kupang - Sosok Julian Hendrik memang belum masuk dalam daftar pahlawan nasional, tapi aksi putra asli Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur itu pernah menggemparkan dunia. Ia menjadi inisiator upaya perebutan kapal perang Belanda, Kapal Tujuh (De Zeven Provincien) pada 5 Februari 1933.
Aksi tersebut dipicu keputusan untuk menurunkan gaji pegawai pemerintah Hindia Belanda sebesar 17 persen yang diumumkan pada 1 Januari 1933. Penurunan gaji pegawai tersebut merupakan upaya pemerintah Hindia Belanda untuk mengurangi defisit anggaran belanja akibat depresi ekonomi yang melanda dunia pada saat itu.
Julian memimpin rapat perdana bersama teman-temannya di sebuah gedung bioskop Uleuleu, Kotaradja (sekarang Banda Aceh) dengan izin melakukan acara halal bihalal usai Idul Fitri 29 Januari.
"Tanggal 3 Februari 1933, Julian Hendrik mengajak teman-teman mengadakan rapat untuk membicarakan taktik perebutan kapal," kata Peter A Rohi, sejarawan Indonesia kepada Liputan6.com di Kupang, Selasa (8/11/2016)
Rapat kedua, kata Peter, dilaksanakan lebih rahasia dan hanya dihadiri perwakilan suku-suku, seperti Madura, Bugis Makassar, Palembang, Padang, Ambon, Minahasa, Sunda Kecil dan lain-lain. Jermias Kawilarang diminta mengomandoi kapal perang itu, sementara yang memimpin pergerakan diserahkan pada Martijn Marseha Paradja.
Baca Juga
Advertisement
Menurut Peter, masyarakat NTT dan Indonesia hingga dunia, perlu mengetahui dan mengenang sosok Julian Hendrik serta perjuangannyak karena ia adalah sosok pejuang muda yang mampu menggemparkan dunia.
"Pada usia 23 tahun, ia (Julian Hendrik, baca) mengajak 200 temannya di Uleuleu mengadakan rapat di sebuah bioskop di pelabuhan itu. Dari situlah tercetus pemberontakan yang menggemparkan dunia dikenal dengan sebutan De Zeven Provincien Affair," ujar Direktur Sukarno Institut itu.
Pemberontakan di atas Kapal Tujuh seperti ditulis koran Soeara Oemoem di Surabaya, berakhir dengan kematian rekan Julian, Martjin Paradja akibar terkena bom di geladak kapal dalam pelayaran ke Surabaya.
"Martjin bersama 20 teman lainnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Jermias Kawilarang yang mengemudikan kapal dimakamkan di TMP Tanjung Pinang, sedangkan Julian Hendrik dimakamkan di kampung halamannya di Eimau, Sabu Raijua," kata Peter.
Julian Hendrik, lanjut Peter, adalah salah satu anak buah kapal (ABK) kapal perang Belanda berukuran 6500 ton, Kapal Tujuh (De Zeven Provincien) berpangkat Bintara bersama tujuh temannya serta 256 orang bawahan dari Indonesia.
"Kapal Tujuh itu berukuran 6500 ton dengan jumlah anak buah kapal (ABK) kapal, KL. 460 orang, dia ntaranya terdapat 30 orang Perwira, 26 Bintara, 141 orang bawahan bangsa Belanda," Peter memungkasi.