Arab Spring Membuat Kerugian Hingga Rp 8,3 Triliun, Bangkrut?

Badan ekonomi PBB menyebutkan gerakan Arab Spring mencapai kerugian sebesar US$ 614 juta atau setara dengan Rp 8,3 triliun.

oleh Nurul Basmalah diperbarui 11 Nov 2016, 10:55 WIB

Liputan6.com, Riyadh - Unjuk rasa Arab Spring  yang berujung dengan kerusuhan -- istilah untuk gelombang demokratisasi di Timur Tengah -- pada 2011 telah menyebabkan kerugian ekonomi di kawasan itu, yang diperkirakan mencapai US$ 614 juta atau setara dengan Rp 8,3 triliun.

Kerugian tersebut diduga diakibatkan oleh adanya perubahan rezim, konflik terus menerus, dan penurunan harga minyak.

Menurut laporan yang dikutip dari Reuters, Jumat (11/11/2016), angka dari Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk Asia Barat (ESCWA), hingga tahun lalu setara dengan 6 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Ini berdasarkan proyeksi pertumbuhan yang dibuat sebelum terjadinya pemberontakan menggulingkan empat pemimpin dan terperosoknya Yaman, Suriah, serta Libya dalam perang.

Laporan yang dipublikasikan pada Kamis 10 November 2016 itu merupakan estimasi pertama yang dikeluarkan oleh badan ekonomi global.

Sementara itu, konflik yang telah memasuki tahun keenam di Suriah, membuat negara itu menderita PDB dan kerugian modal sebanyak US$ 259 atau setara dengan RP 2,7 triliun sejak 2011. Angka itu diperkirakan oleh Agenda Nasional untuk Masa Depan Suriah, PBB.

Harga minyak mulai tergelincir pada pertengahan 2014 dan jatuh ke posisi terendah dalam 13 tahun terakhir pada Januari 2016.

Turunnya harga sumber daya alam itu membuat negara produsen seperti Arab Saudi dan lainnya termasuk Lebanon, yang bergantung pada pengiriman uang dari negara di Teluk Arab, terpukul.

"Turunnya harga minyak kemungkinan akan menguntungkan negara produsen. Mereka akan dikategorikan ke dalam negara perbaikan ekonomi yang akan berujung pada penganekaragaman yang sesungguhnya," kata Mohamed el Moctar Mohamed el Hacene, Direktur Pengembangan Ekonomi ESCWA.

Sementara itu negara tersebut membutuhkan bantuan keuangan dari komunitas internasional.

"Kita telah melihat di Amerika Latin, Eopa Timur, dan Balkans dukungan yang mereka dapat dalam rangka bangkit dari konflik yang mereka hadapi. Sejauh ini kita belum melihat adanya dukungan serupa di negara-negara Arab," ujar el Hacene.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya