Liputan6.com, Jakarta - Calon presiden (Capres) Partai Republik, Donald Trump secara mengejutkan menang dalam pilpres AS 2016 8 November lalu, mengalahkan rivalnya dari Partai Demokrat, Hillary Clinton. Trump tidak saja menyapu sebagian besar Swing States tradisional seperti Florida, Ohio dan North Carolina, tapi juga beberapa Swing States yang terkenal loyal kepada Partai Demokrat seperti Wisconsin, Michigan, Iowa dan Pennsylvania.
Trump adalah 'Black Swan' terbesar dalam pilpres AS 2016 dan salah satu ciri dari peristiwa 'Black Swan' adalah sulit dinalar oleh rasio. Yang terjadi kemudian adalah para pakar politik yang rata-rata menganggap Trump mustahil memenangkan pilpres AS berusaha menggali akar penyebab kesalahan analisis mereka. Lembaga poling dan para pollster terkemuka juga mulai mencari pembenaran terhadap melesetnya semua prediksi mereka.
Baca Juga
Advertisement
Jawaban paling mudah tentunya adalah dengan mengungkap data exit polls, seperti exit polls Edison Research untuk the National Election Poll, konsorsium ABC News, The Associated Press, CBSNews, CNN, Fox News dan NBC News pada hari H. Dari exit polls tersebut bisa diketahui bahwa Hillary kalah karena dukungan pemilih minoritas yakni warga kulit hitam, Hispanik, dan Asia menurun masing-masing 7 persen, 8 persen dan 11 persen dari tahun 2012.
Juga pemilih berusia 18-29 tahun yang menjadi salah satu pendukung utama Obama menurun 5 persen dari pilpres lalu. Fakta lain yang bisa diungkap dari exit polls adalah dukungan pemilih kulit putih lulusan SMA ke bawah terhadap Trump naik 14 persen dari 4 tahun lalu, dan dukungan pemilih independen terhadap Trump 6 persen lebih banyak dari Hillary. Masih banyak fakta-fakta statistik yang bisa diuraikan dari exit polls, tapi semua itu hanya menjawab sebagian pertanyaan.
Pertanyaan yang lebih esensi seperti: "Mengapa retorika-retorika bernada ancaman Trump terhadap kaum minoritas, kebiasaan Trump menghina atau menipu orang lain dan melecehkan wanita yang dipaparkan secara gamblang oleh media-media serta citra-citra negatif lain yang dilekatkan ke Trump seakan tidak memberikan banyak pengaruh terhadap pemilih?," tidak bisa dijawab oleh exit polls.
Memang, akar penyebab menangnya Trump harus ditelusuri lebih mendalam, dimulai dari mengungkap kondisi sosial-politik-budaya AS yang melatarbelakangi munculnya arus politik baru yang diperkenalkan Trump. Hal lain yang perlu digali adalah perubahan kultur dan demografis AS serta dampak sosial yang ditimbulkannya terhadap basis pemilih utama di AS yakni masyarakat kulit putih.
Situasi ekonomi AS beberapa dekade terakhir yang turut mempengaruhi sikap politik masyarakat AS hingga akhirnya mereka memilih Trump juga patut untuk digali. Terakhir adalah mengungkap perubahan tren penggunaan teknologi komunikasi oleh masyarakat AS mempengaruhi akurasi poling-poling pemilu sehingga hasil akhir pilpres AS meleset dari prediksi sebagian besar lembaga poling, termasuk prediksi para pollster ternama yang prediksi mereka selama ini terkenal sangat akurat.
Perubahan Sosial, Politik, Budaya, serta Demografis
Politik AS hingga 2-3 dekade lalu terkait erat dengan akar budaya masyarakat kulit putih (khususnya penganut Kristen Protestan) yang menjadi konstituen utama Partai Republik dan banyak memberi warna bagi kebijakan-kebijakan pemerintah negara adi daya ini. Tapi kemudian berbagai perubahan terjadi.
Pertama-tama, muncul budaya kontemporer yang merasuki kehidupan mereka melalui film-film Hollywood di berbagai bioskop dan beragam hiburan televisi di rumah-rumah. Budaya kontemporer ini sangat bertentangan dengan konservatisme yang dianut oleh banyak masyarakat kulit putih. Budaya kontemporer yang liberal juga memberi ruang yang besar kepada talenta-talenta non-kulit putih dan banyak di antara mereka menjadi ikon budaya AS modern yang mendapat pengakuan luas di dunia.
Pada saat yang bersamaan, kelompok-kelompok LGBT--yang sebelumnya terpinggirkan karena dianggap sebagai penyakit masyarakat oleh warga kulit putih konservatif--semakin berani muncul ke permukaan. Banyak dari kelompok LGBT tersebut yang memiliki peran besar dalam perkembangan arus budaya kontemporer AS. Partai Demokrat dengan paham ideologi yang semakin liberal mempersubur budaya kontemporer dan sikap permisif terhadap paham LGBT yang tidak bisa diterima oleh masyarakat kulit putih konservatif.
Dari sana, masyarakat kulit putih mulai merasa pengaruh mereka semakin luntur. Rasa frustrasi mereka semakin besar ketika data-data dari Biro Sensus AS juga menunjukkan bahwa jumlah mereka relatif terhadap masyarakat non-kulit putih juga semakin menurun. Berdasarkan sensus yang dilakukan tahun 2004 --atau periode kedua pemerintahan George W. Bush, Biro Sensus AS memprediksikan bahwa pada tahun 2050 AS tidak lagi menjadi negara dengan mayoritas kulit putih.
Empat tahun kemudian ketika Barack Obama terpilih menjadi presiden kulit hitam pertama AS, Biro Sensus AS merevisi prediksinya bahwa berakhirnya mayoritas kulit putih akan terjadi lebih cepat, yakni tahun 2042.
Perubahan rasial dan etnis yang sangat dramatis serta melemahnya pengaruh masyarakat kulit putih konservatif dalam konstelasi sosial-politik-budaya AS menjadi salah satu pemicu munculnya gerakan Tea Party, yakni sebuah gerakan konservatif yang menyerukan pengurangan hutang nasional, pengurangan defisit anggaran dan pemotongan pajak.
Tapi dalam praktiknya, gerakan Tea Party dimotori oleh masyarakat kulit putih AS yang khawatir negara mereka 'dicuri' oleh imigran Hispanik dan para anggota kongres AS (DPR dan Senat) Partai Republik yang berafiliasi ke Tea Party menjadi aktor utama di balik berbagai keputusan di Kongres AS yang menolak kebijakan-kebijakan pemerintah yang menguntungkan kelompok-kelompok minoritas non-kulit putih.
Menurut data yang dikumpulkan oleh the Institute for Research & Education on Human Rights (IREHR), pada tahun 2014, misalnya, sekitar 70 persen anggota Kaukus Tea Party di DPR AS menjadi anggota House Immigration Reform Caucus yang anti-imigran.
Anggota kongres AS yang berafiliasi ke gerakan Tea Party juga berada di belakang upaya penjegalan Undang-Undang Perlindungan Kesehatan atau Obamacare yang banyak menguntungkan orang-orang miskin dari kalangan minoritas yang terlindungi asuransi kesehatan.
Tapi Tea Party sebagai gerakan dan kelompok ideologis Partai Republik saat ini mulai meredup. Berdasarkan hasil riset Public Religion Research Institute, warga AS yang mengaku sebagai bagian dari gerakan Tea Party menurun dari 11 persen pada 2010 menjadi 6 persen pada 2015.
Afiliasi Tea Party di kalangan Partai Republik juga menurun dari 22 persen pada 2010 menjadi 14 persen pada 2015. Salah satu penyebab lunturnya gerakan Tea Party adalah mereka lebih banyak show-off daripada mewujudkan agenda-agenda yang diinginkan para anggota dan simpatisannya.
Tapi apakah menurunnya simpatisan Tea Party di Partai Republik berarti kelompok mainstream kembali dominan? Ternyata tidak. Hanya 22 persen pendukung Partai Republik mengaku sebagai kelompok mainstream di partai menurut poling Bloomberg. Sisanya? Mereka menjadi kelompok 'sempalan' yang berada di balik kemunculan dan kemenangan Trump yang spektakuler di Primary Partai Republik dan Pilpres 8 November. Ini tercermin dari tingginya dukungan pemilih kulit putih ke Trump (58 persen vs 37), yang mengalahkan dukungan segmen pemilih ini terhadap Ronald Reagan pada 1984!
Ekonomi yang Stagnan dan Menurunnya Peran AS di Dunia
"Ask yourself, 'Are you better off now than you were four years ago? Is it easier for you to go and buy things in the stores than it was four years ago? Is there more or less unemployment in the country than there was four years ago? Is America as respected throughout the world as it was?"
Itu adalah pertanyaan retoris Ronald Reagan dalam debat capres 28 Oktober 1980 melawan Jimmy Carter untuk menegaskan bahwa presiden incumbent dari Partai Demokrat tidak membuat ekonomi masyarakat AS lebih baik dan AS menjadi negara disegani yang setelah 4 tahun pemerintahan Carter.
Ungkapan retoris Reagan yang legendaris itu mengantarkannya menjadi Presiden ke-33 AS mengalahkan Carter secara telak 489 vs 49 pada pilpres 1980 dan meraih suara elektoral terbesar sepanjang sejarah AS ketika melawan Wolter Mondale pada pilpres 1984 dengan perolehan suara elektoral 525 vs 13.
Trump memakai retorika yang mirip dengan Reagan. Hanya saja lebih pertanyaan retoris tentang kondisi ekonomi masyarakat di dalam negeri lebih ditujukan kepada warga mayoritas kulit putih yang kecewa karena lapangan pekerjaan mereka hilang akibat 'direbut' oleh para imigran dari Meksiko dan karena perusahaan-perusahaan AS dipindah ke China, India, dan Meksiko akibat kebijakan presiden Obama yang merupakan keturunan kulit hitam.
Di samping itu, Trump menuding kebijakan luar negeri Obama yang lembek semasa Hillary menjabat sebagai menteri luar negeri menjadi penyebab hilangnya kewibawaan AS di dunia dan menjadi biang keladi dari berbagai kekacauan di Timur Tengah serta lahirnya ISIS yang turut mengancam keamanan dalam negeri AS.
Pencapaian ekonomi Obama juga dianggap mengecewakan. Ketika dilantik menjadi Presiden AS ke-44, Barack Obama mewarisi kondisi ekonomi AS yang karut-marut lantaran George W. Bush banyak menghamburkan anggaran untuk perang di Irak dan Afghanistan. Dengan berbagai upaya, Obama sukses mengeluarkan AS dari krisis ekonomi pada 2008/2009 yang saat itu ekonomi AS jatuh hingga -8 persen. Ekonomi AS saat ini positif di angka 2-3 persen dan trennya meningkat dari tahun ke tahun.
Tapi masyarakat AS merasa pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan pemerintahan saat ini kurang memberi dampak pada mereka. Obama memang mampu menambah 11.7 juta lapangan kerja selama dua periode pemerintahannya dan menekan angka pengangguran ke angka 4.9 persen. Tapi masih jauh di bawah jumlah lapangan kerja yang diciptakan Bill Clinton yang mencapai 21.5 juta dan Ronald Reagan yang mencapai 15.9 juta.
Angka pengangguran di sejumlah Swing States seperti Pennsylvania dan Ohio juga masih di atas rata-rata nasional. Ketidakpuasan masyarakat AS terhadap pemerintah tercermin dalam poling-poling yang dirangkum RealClearPolitics yang menunjukkan 61.9 persen masyarakat AS menganggap negara berada di jalur yang salah.
Janji Trump untuk membuka lebih banyak lapangan kerja dengan mendeportasi para imigran gelap dari Meksiko yang 'mencuri' pekerjaan kaum kulit putih, memanggil pulang perusahaan-perusahaan AS dari China dan negara lain agar membuka lapangan kerja di dalam negeri dan menjadikan Amerika kembali menjadi negara yang hebat dengan slogan 'Make America Great Again' merupakan sebuah tawaran menggiurkan yang sulit ditolak masyarakat, khususnya kaum kulit putih yang selama ini merasa semakin terpinggirkan.
Perubahan Teknologi Komunikasi Vs Akurasi Survei
AS merupakan negara yang memiliki industri poling paling maju dan paling besar di dunia. Berdasarkan Situs agregasi dan analisa poling FiveThirtyEight ada 372 lembaga atau perusahaan poling politik di AS, dengan rating mulai dari A+ (sangat absah dan akurat) seperti Field Research Corporation (Field Poll) hingga F (akurasi dan keabsahan sangat diragukan) seperti TCJ Research. Dengan adanya ratusan lembaga poling politik di AS, menjelang pilpres 2016 kali ini puluhan poling di tingkat nasional maupun negara bagian bertebaran di Internet setiap harinya.
Berdasarkan data yang saya amati dari situs agregasi poling RealClearPolitics, dalam rentang waktu 24 Oktober hingga 8 November saja, lebih dari 120 poling pilpres tingkat nasional dirilis. Jika poling di tingkat negara bagian diperhitungkan, jumlahnya jauh lebih banyak lagi.
Yang menarik dari ke-120 poling nasional yang dirilis dalam 2 minggu terakhir menjelang pilpres tersebut, 80 persen poling memprediksi Hillary menang, 15 persen Trump menang dan sisanya menyatakan kedua calon sama kuat. Faktanya? Trump menang cukup telak, dengan perkiraan perolehan suara elektoral 306 untuk Trump dan 232 untuk Hillary (dengan asumsi keunggulan sementara Trump di Arizona dan Michigan serta keunggulan Clinton di New Hampshire tetap bertahan hingga proses perhitungan tuntas).
Mengapa sebagian prediksi banyak lembaga atau pakar poling termasuk Nate Silver dari FiveThirtyEight, Prof. Sam Wang dari Princeton Election Consortium dan Nate Cohn dari New York Times-Upshot (3 ‘selebriti’ poling AS yang prediksi-prediksi mereka di masa lalu terkenal akurat) meleset?
"Karena Donald Trump sebagai 'Black Swan' terbesar dalam Pilpres AS 2016, sehingga tidak bisa diprediksi," adalah jawaban paling sederhana tapi tidak memuaskan.
Dalam artikel tahun 2014 berjudul "Is The Polling Industry In Stasis Or In Crisis?" Nate Silver, pendiri dan chief editor FiveThirtyEight, mengeluhkan sulitnya mendapat hasil poling yang bagus untuk membantu menghasilkan hasil prediksi yang akurat.
Menurut Silver, saat ini tingkat keberhasilan melakukan survei atau poling politik hanya 10 persen saja, jauh menurun dari 35 persen pada tahun 1990-an. 90 persen sisanya tidak bisa diselesaikan karena banyak responden tidak mau menjawab sehingga membuat ukuran sampel survei kurang representatif.
Masalah lainnya adalah penetrasi telepon rumah di AS sudah stagnan dan orang-orang banyak beralih ke ponsel dan Internet. Pengguna ponsel dan internet tidak mudah diketahui identitasnya, lokasi negara bagian dan etnisitasnya yang di AS terkait erat dengan afiliasi politik responden.
Dengan fakta-fakta seperti itu, banyak sekali calon responden potensial yang luput dari jangkauan lembaga poling yang berakibat data akurasi data dipertanyakan. Tren lain yang berkembang di AS adalah munculnya lembaga-lembaga poling partisan, mereka yang mencomot data dari tempat lain atau bahkan mereka yang melakukan poling dengan memakai data abal-abal.
Jadi dengan banyaknya hasil survei yang dirilis setiap hari, analis atau agregator poling seperti Nate Silver, Prof. Sam Wang dan Nate Cohn harus bekerja ekstra keras mengambil hasil-hasil poling yang baik dan mengabaikan hasil poling yang jelek atau abal-abal. Kalaupun sudah didapat hasil poling yang baik pertanyaan selanjutnya adalah apakah responden poling-poling tersebut sudah representatif, yakni menjangkau semua segmen pemilih berdasarkan negara bagian, umur, etnisitas dan afiliasi politik.
Tidak akuratnya hasil poling 'menyamarkan' keunggulan Trump dan mempengaruhi tindakan tim kampanye Clinton dalam memprioritaskan sumber daya yang mereka miliki (dana iklan, tim lapangan, endorser dll.) secara tepat. Ketika data-data poling yang membingungkan membuat tim kampanye Clinton serba salah bertindak, Trump sukses memenangkan sejumlah Swing States penting dan menjadi presiden ke-45 AS.
Penutup
Donald Trump maju di pilpres AS sebagai underdog dibandingkan Hillary Clinton: dana kampanye jauh lebih kecil (US$ 795 juta vs US$ 1,5 miliar); tim lapangan yang jumlahnya jauh lebih sedikit; dukungan internal partai yang tidak kompak; hampir tidak ada dukungan kaum selebriti sementara Clinton diendorse ratusan selebriti; hanya dua media yang meng-endorse Trump—satu media milik menantunya dan satu media lain milik salah satu donor kampanyenya—sementara Hillary Clinton di-endorse 57 media liberal dan konservatif.
Juga sedikit sekali poling dan prediksi pilpres yang dirilis menjelang pelaksanaan piplres 8 November yang mengunggulkannya. Tapi Trump sukses menjungkirbalikan semua prediksi dan akal sehat.
Kunci keberhasilan Trump yang sebenarnya adalah kemampuan memahami kegelisahan arus utama kelompok mayoritas yang terpinggirkan yakni masyarakat kulit putih yang merasa termarjinalkan dalam aspek sosial-budaya, ekonomi dan eksistensi.
Keberhasilan Trump juga tidak terlepas dari pergeseran penggunaan teknologi komunikasi yang membuat prediksi banyak poling meleset. Keberhasilan Donald Trump berarti juga runtuhnya industri poling dan mainstreampoliticalpunditry AS, yang dampaknya akan terasa hingga beberapa tahun atau bahkan beberapa pemilu mendatang.
Pertanyaanya sekarang: apakah setelah ini Trump akan merealisasikan slogan Make America Great Again dengan mendeportasi jutaan imigran Hispanik, menekan kaum minoritas AS, menghalangi muslim masuk ke AS dan menjadikan AS polisi dunia yang lebih agresif dari sebelumnya?
Atau apakah dia akan mengikuti jalan Reagan yakni menjalankan kebijakan inklusif sehingga menjadi presiden AS yang sangat dihormati dan pemimpin dunia yang disegani? Hanya waktu yang akan membuktikan!
** Didin Nasirudin. Penulis adalah Praktisi Komunikasi, Pemerhati Politik AS dan Kandidat Magister Komunikasi Politik dari Univesitas Jayabaya