Liputan6.com, New York - Abdulrahman Ibrahim Ibn Sori, yang dikenal juga sebagai Abdul Rahman, lahir di Timbo, Afrika Barat. Sekarang, negeri itu dikenal sebagai Guinea.
Ia adalah seorang Fulbe dari tanah Futa Jallon. Ayahnya, seorang sultan kaya raya, mampu mengirimnya untuk belajar di Mali, Timbuktu, pada 1771.
Timbuktu adalah sebuah kota di Kawasan Tombouctou, tempat kediaman bangsa Mail. Kota itu sekaligus menjadi tempat kedudukan Universitas Sankore yang menjadi pusat intelektual dan spiritual yang menjadi pondasi Islam di Afrika pada Abad ke-15 dan 16.
Baca Juga
Advertisement
Dikutip dari The Vintage News pada Jumat (11/11/2016), Abdulrahman mempelajari hukum dan filsafat. Setelah selesai sekolah, ia kembali ke Futa untuk memulai tugas-tugas di lingkaran takhta ayahnya.
Ketika tiba di Futa, ia menjadi pemimpin salah satu divisi pasukan sang ayah.
Sejak saat itu, urusannya justru menjadi runyam. Kira-kira pada 1788, pada usia sekitar 26 tahun, Ibrahim memimpin salah satu divisi ayahnya dalam peperangan. Mereka kalah dan ia menjadi tawanan lawannya, suku Heboh.
Ia kemudian dijual kepada beberapa pedagang budak hingga akhirnya tiba di Amerika Serikat pada 1788.
Ia dilelang dan menjadi budak Kolonel Thomas Foster, dipekerjakan tanpa upah menjadi pemetik di perkebunan kapas di negara bagian Mississippi.
Ibrahim mengerti benar soal kapas. Pengetahuannya itu membantunya naik ke posisi yang memegang wewenang di perkebunan. Pada akhirnya, ia menjadi mandor.
Di situ ia bertemu dengan Dr. John Cox yang sebelumnya diselamatkan oleh keluarga Ibrahim -- setelah Cox yang terjangkit penyakit ditinggalkan oleh kapalnya.
Cox menceritakan kisahnya kepada Foster dan meminta untuk membeli sang pangeran supaya bisa dibantu pulang ke Afrika.
Foster menolak tawaran itu karena Ibrahim adalah salah satu budaknya yang terbaik dan paling bernilai.
Pada 1862, Ibrahim memutuskan untuk menulis surat kepada Presiden dan pimpinan legislatif Amerika Serikat.
Ia mengirim salinannya kepada Sultan Maroko dan pelindung bangsa Moor, yang meminta penegakan haknya sesuai dengan Pasal 2, 6, 16, dan 20 dalam Perjanjian Persahabatan antara Amerika Serikat dan Maroko yang ditandatangani pada 1776.
Setelah Sultan Maroko membaca surat itu, ia meminta kepada Presiden John Adam dan Menteri Dalam Negeri Henry Clay untuk membebaskan Ibrahim Abdul Rahman.
Setelah 40 tahun, sang pangeran akhirnya dibebaskan dan pulang ke Afrika, tapi meninggal dunia sebelum tiba di kampung halaman.