Dokter Kariadi dan Pertempuran 5 Hari di Semarang

Dokter Kariadi adalah pahlawan muda yang memiliki semangat juang yang bisa dicontoh semua elemen masyarakat saat ini.

oleh Felek Wahyu diperbarui 11 Nov 2016, 20:24 WIB

Liputan6.com, Semarang - Kalangan DPRD Jawa Tengah (Jateng) berharap segenap elemen masyarakat merenungi kembali makna Hari Pahlawan. Perenungan, salah satunya dilakukan adalah dengan belajar dari semangat juang dan kepahlawanan dokter Kariadi.

Wakil Ketua DPRD Jateng Ahmadi menyebut sosok dokter Kariadi adalah pahlawan muda yang memiliki semangat juang yang harusnya bisa dicontoh oleh semua elemen masyarakat saat ini.

"Di Hari Pahlawan ini, mari kita merenungi dan belajar dari semangat para pahlawan yang telah gugur mendahului kita, salah satunya adalah putra terbaik Semarang, Dr Kariadi, yang kini namanya diabadikan menjadi rumah sakit terbesar di Kota Semarang," ucap dia di Semarang, Kamis (10/11/2016).

Sebagian informasi menyebutkan, kematian dokter Kariadi adalah salah satu penyebab terjadinya pertempuran 5 hari di Semarang. Pertempuran yang menjadi rangkaian perlawanan rakyat Indonesia melawan tentara Jepang pada masa transisi.

Pertempuran yang dimulai pada 15 Oktober 1945, yang didahului dengan situasi memanas sebelumnya ini berakhir hingga pada 20 Oktober 1945.

Tidak berhenti dengan pemberian nama rumah sakit, perjuangan pemuda Semarang setiap tahun digelar di Semarang.

Pena sejarah mencatat, tanggal 13 Oktober 1945, suasana Indonesia pada umumnya dan Kota Semarang pada khususnya semakin mencekam. Tentara Jepang semakin terdesak.

Pada tanggal 14 Oktober 1945, Mayor Kido menolak penyerahan senjata sama sekali. Para pemuda pun marah dan rakyat mulai bergerak sendiri-sendiri.

Aula RS Jadi Markas Perjuangan

Aula Rumah Sakit Purusara kini menjadi RS dr Kariadi, Semarang, dijadikan markas perjuangan. Para pemuda rumah sakit pun tidak tinggal diam dan ikut aktif dalam upaya menghadapi Jepang. Sementara, strategi perjuangan pemuda menggunakan taktik perang bergerilya.

"Selepas magrib, ada telepon dari pimpinan Rumah Sakit Purusara, yang memberitahukan agar dokter Kariadi, Kepala Laboratorium Purusara segera memeriksa Reservoir Siranda karena berita Jepang menebarkan racun di sumber air bagi warga," Ahmadi mengungkapkan.

Mendapat informasi rencana pembunuhan massal di Semarang, dokter Kariadi kemudian dengan cepat memutuskan harus segera pergi ke reservoir utama penyumbang air di Semarang.

"Suasana sangat berbahaya karena tentara Jepang telah melakukan serangan di beberapa tempat termasuk di jalan menuju ke Reservoir Siranda," Ahmadi mengenang.

Lebih lanjut Ahmadi mengisahkan, istri dr Kariadi, drg Soenarti mencoba mencegah suaminya pergi mengingat keadaan yang sangat genting itu.

Namun dokter Kariadi berpendapat lain, ia harus menyelidiki kebenaran desas-desus itu karena menyangkut nyawa ribuan warga Semarang.

"Pada 19 Oktober 1945, pertempuran terus terjadi di berbagai penjuru Kota Semarang. Pertempuran ini berlangsung lima hari dan memakan korban 2.000 pejuang Indonesia dan 850 orang Jepang. Di antara yang gugur, termasuk dr Kariadi dan delapan karyawan RS Purusara Kota Semarang," kata legislator Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut.

Mengambil hikmah dari peristiwa itu, Wakil Ketua DPRD yang membidangi masalah pendidikan dan kesehatan tersebut berharap seluruh elemen masyarakat, terutama di Jateng dan Kota Semarang untuk meneladani semangat juang dari sosok dr Kariadi, yang kala itu gugur saat sedang berjuang di medan peperangan.

"Inspirasi yang bisa ambil hikmahnya adalah bahwa para pahlawan itu bisa dari berlatar profesi, sehingga kini mari kita isi kemerdekaan kita ini, baik dalam profesi apa pun untuk menerapkan jiwa kepahlawanan dalam sanubari kita, jiwa kepahlawanan itu diantaranya adalah semangat juang, tak kenal menyerah dan tentunya cinta Tanah Air," Ahmadi memungkasi kisah pahlawan nasional dari Semarang tersebut.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya