Liputan6.com, Jakarta - Tali handwrap merah sepanjang 4,5 meter mulai dililitkan membungkus jemari lengan kiri seorang atlet tinju bernama Maxi Nahak Rodriguez. Dengan telaten, Maxi—demikian ia disapa—melilitkan tali itu hingga ke pergelangan lengan kirinya. Dia mengulangi aktivitas itu, kini di lengan kanannya. Ini adalah ritual yang dia kerjakan selepas melakukan skipping sebagai pemanasan menjelang latihan. Setelah itu, Maxi kemudian memasukkan lengannya ke dalam sarung tinju yang diletakkan di depan tiang penyangga sandsack.
Advertisement
Bunyi pukulan menghantam sandsack pun muncul kala Maxi mulai berlatih. Sambil berloncat-loncatan, Maxi terus memukul karung penuh pasir yang digantungkan di atas tiang besi yang memiliki empat kaki. Setiap kali Maxi memukul sandsack, tiang besi berayun seperti hendak jatuh. Tapi, dia terus menghantam sarung pasir itu dengan kekuatan penuh. Keringat pun deras bercucuran saat ia berlatih.
“Saya mulai berlatih sejak 2009,” kata Maxi kepada Liputan6.com, seusai berlatih di Sasana Sasando Boxing Camp, Tangerang, Banten, Kamis, (3/11/2016). Lelaki berusia 30 tahun ini merupakan juara tinju kelas menengah versi WBC Asia. Gelar itu diraihnya setelah mengalahkan Eung Chan Lee, petinju asal Korea Selatan, di Seoul, Korea Selatan, Juli lalu. Selain berprofesi sebagai atlet tinju, Maxi juga seorang petugas satuan pengamanan (satpam) di Pasar Modern Tangerang.
Pekerjaan sebagai satpam tersebut sudah ditekuninya selama beberapa tahun terakhir. Sebab, Maxi tak bisa lagi menggantungkan hidup hanya dari bertinju. Apalagi dunia tinju profesional yang dia geluti kini tengah melempem. Pertandingan tinju sudah jarang digelar. Karena itulah, ia menjalani dua pekerjaan sekaligus: sebagai atlet dan satpam.
Pengamat tinju Hengky Silatang menyebut kondisi tersebut sudah lama dihadapi petinju profesional. Tawaran pertandingan, kata dia, sudah jarang diterima. Jika pun ada tawaran, bayaran yang mereka terima tidaklah memuaskan. Kondisi ini, kata Hengky, memaksa petinju profesional mengalihkan fokus untuk berlatih. Sebab, mereka juga butuh biaya untuk hidup dan biaya untuk latihan. “Misalnya jadi satpam,” sebut Hengky.
Chris John, bekas juara dunia tinju kelas bulu versi WBA, mengaku miris dengan kondisi yang dialami petinju saat ini. Ia mengatakan petinju profesional seharusnya sudah tak memusingkan lagi soal mencari nafkah, bahkan mencari pekerjaan lain di luar dunia keatletan. Namun, Chris bisa memahami alasan banyak petinju seperti Maxi punya pekerjaan sampingan. “Tinju profesional seperti hidup segan dan mati tak mau,” ujar Chris kepada Liputan6.com.
Mati surinya dunia tinju, kata Chris, tak lepas dari peran promotor. Sebab, tinju profesional merupakan industri. Penyelenggaraan pertandingan tinju tak bisa dilepaskan dari dana jor-joran yang diberikan sponsor atau promotor. Ini yang membedakan tinju profesional dengan tinju amatir. “Kurang promotor yang bikin event, mau bikin event, mereka takut rugi,” kata Chris menambahkan.
Bertahan di Tengah Sepi Tawaran
Cerita soal dunia tinju saat ini memang menyedihkan. Maxi, yang merupakan bapak satu orang anak, mengaku tawaran bertanding sudah jarang datang. Namun, petinju asuhan Zulfren Saragih ini tetap mengasah kemampuan dengan terus berlatih di Sasana Sasando Boxing Camp. Tim Liputan6.com menyambangi Maxi saat tengah berlatih di sasana ini.
Sasana Sasando rupanya bukanlah sasana yang besar. Sasana ini hanya gubuk kecil yang berada di belakang kawasan pertokoan di daerah Jalan Dokter Sitanala, Tangerang, Banten. Di lahan seluas 5x10 meter, tampak sebuah rumah dengan alas plester semen, berdinding triplek, dan beratap asbes. Di samping rumah terdapat sebuah lapangan kecil dengan plester semen berukuran 5x5 meter. Lapangan itu merupakan bekas ring yang sisi-sisinya sudah mengelupas.
Di lapangan itu Maxi biasanya berlatih dipandu Zulfren, sementara teman-temannya melakukan pemanasan dengan skipping atau meninju sandsack. Meski sasana itu teramat sederhana, petinju-petinju di sasana tak ribut soal fasilitas yang ada. “Sasana ini dulu enggak punya sandsack. Kita latihan sederhana banget,” ucap Maxi mengenang pertama kali saat datang ke Sasando Boxing Camp pada 2009.
Imej kesederhanaan sasana terekam jelas. Setiap petinju yang berlatih di sasana ini terbiasa berlatih di bawah terik matahari. Bahkan, mereka pun harus rela basah kuyup saat hujan menerjang. “Kalau hujan, kita harus latihan hujan-hujanan. Panas pun kita harus latihan, apalagi pas persiapan,” kata Maxi menambahkan.
Persoalan lain, sejumlah peralatan latihan juga mulai rusak. Tim Liputan6.com bahkan menemukan ada kandang ayam yang diletakkan di sudut sasana. Menurut Maxi, ayam-ayam itu sengaja dipelihara untuk membantu mereka memenuhi kebutuhan protein. Sebab, mereka tak bisa membeli semua kebutuhan nutrisi saat tawaran pertandingan sedang sepi.
Keterbatasan ini tak jadi hambatan. Maxi sudah membuktikan dia bisa bersinar dengan segala kekurangan. Dia berhasil meraih gelar juara kelas menengah versi WBC Asia. Meski bukan gelar yang prestisius, Maxi merasa bangga. Sebab, dia meraih gelar itu dengan meninju knock out (KO) Eung Chan Lee di negaranya sendiri. Maxi mengatakan ada pameo buat petinju, “susah menang di negara orang”. “Karena kalau menang angka itu mustahil, dia tuan rumah,” ujar Maxi.
Namun rupanya, menjadi juara tak serta merta membuat Maxi besar kepala. Lelaki asal Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, sadar ia masih harus menempa diri demi mendapat jam terbang tinggi. Namun, itu hampir mustahil karena saat ini tawaran pertandingan kian nihil. Apalagi, anak dan istrinya butuh makan. Karena itu, ia tak bisa hanya menggantungkan diri dari ajakan sesekali bertanding di atas ring.
Menunggu Pertandingan
Pertandingan bagi petinju, diakui Chris John, punya banyak arti. Selain menjadi sumber pendapatan, pertandingan juga mampu meningkatkan jam terbang. Ini seperti terjadi pada awal dekade 2000-an. Chris mengatakan, dirinya merupakan produk kompetisi tinju profesional yang banyak dihelat di era tersebut.
Menurut dia, banyak petinju yang menunggu tawaran bertanding saat ini. Mereka mengharapkan, promotor-promotor tergerak menghidupkan dunia tinju profesional. Sebab, dunia tinju profesional tak bisa mengandalkan bantuan dari pemerintah. “Kami menunggu, supaya dunia tinju tidak off,” ujar Chris.
Kebutuhan akan pertandingan rupanya tak hanya dibutuhkan petinju profesional. Tinju amatir yang kerap menyumbang petinju hebat di era 1980-an, juga membutuhkan pertandingan. Ini diakui Wakil Ketua Umum Persatuan Tinju Amatir Indonesia (Pertina) Hengky Silatang.
Bagi Hengky, pertandingan tinju merupakan keharusan sekaligus kebutuhan. Sebab, pertandingan akan mampu menjadi wahana untuk memunculkan bibit-bibit petinju amatir berkualitas. Bibit-bibit ini, kata dia, nantinya bisa diarahkan untuk terjun ke dunia tinju profesional. Ini seperti yang pernah dialami Ellyas Pical dan Nico Thomas di era 1980-an.
“Yang paling baik saat ini adalah pertandingan yang banyak karena tinju itu potensial menciptakan juara,” kata Hengky.
Chris John pun tak bisa terlalu lama menunggu. Ia tak mau melihat petinju-petinju potensial dalam negeri hanya gigit jari. Karena itu, Chris mengaku, dirinya mulai banting setir mempromotori audisi pertandingan tinju. Harapan dia, supaya banyak promotor datang dan dunia tinju tak makin megap-megap.
“Karena saat ini, Indonesia butuh event pertandingan. Dunia tinju butuh promotor. Dan inilah yang sudah saya mulai. Semoga diikuti yang lain,” ucap Chris John penuh harapan