Perlawanan Kaum Cat Semprot

Dianggap vandal, komunitas graffiti terus berkembang di tengah kota seperti semut yang terus bekerja.

oleh Ahmad Apriyono diperbarui 16 Nov 2016, 15:00 WIB
Dianggap vandal, komunitas graffiti terus berkembang di tengah kota seperti semut yang terus bekerja.

Liputan6.com, Jakarta Koran The New York Times pada 21 Juli 1971 pernah memuat artikel berjudul “Taki 183 Spawns Pen Pals”, yang mengulas tentang makhluk ajaib bernama Demetrius dengan kebiasaan anehnya, yaitu sering menulis nama "Taki 183" di mana pun dia singgah. Pada era 1960-an, Demetrius secara masif menulis nama tersebut menggunakan cat semprot. Taki merupakan nama kecilnya, sedangkan 183 diambil dari nomor rumahnya yang berada di 183 Street di Washington Height. Dari kegilaan ini, anak-anak di seluruh New York menjadi 'poser' dan mengikuti apa yang dilakukan Demetrius, mereka beranggapan kepopuleran bisa didapat hanya dengan menuliskan identitas di banyak tempat.

Dari situlah seni graffiti mulai menjalar bagaikan virus, sejalan dengan kultur hiphop dan tari kejang yang juga sedang marak di Amerika Serikat. Tahun 90-an street art mulai dikenal di kalangan anak muda Indonesia. Video klip rapper Iwa K yang menayangkan seni graffiti menjadi bukti autentik bagaimana awalnya street art masuk, menyebar, dan menjadi industri tersendiri di Indonesia. Di Jakarta, awal 2000-an menjadi era mulai berkembangnya street art dan khususnya seni graffiti, yang ditandai dengan banyak bermunculannya komunitas street art, salah satunya adalah Gardu House.

Rizky Aditya atau Bujangan Urban, salah seorang street artist saat ditemui Liputan6.com di markas Gardu House, di Jalan Ciputat Raya No 324, Minggu (12/11/2016) menceritakan, keberadaan Gardu House bermula dari latar belakang pendidikan dan kampus yang sama, beberapa anak muda yang punya hobi menggambar ini mendirikan Artcoholic, yang kegiatannya hanya di seputar kampus.

“Waktu cuma di kampus kita udah gak punya lahan, akhirnya kita ke jalan. Kita bikin di jalan. Itu juga awalnya cuma iseng aja. Yaudah saat kita lama di jalan, kita bikin Gardu House dan mulai diundang untuk exhibition, proyek-proyek mulai datang, selain kita terus menggambar di jalan kita juga ngerjain hal-hal yang komersil. Mulai dari gambar kamar orang, mulai dibayar seadanya sampai yang hasilnya lumayan. Ngerjain kafe, ngerjain bar, ngerjain apapun segala macem, dan apa yang lo lakuin sekarang ini ternyata bisa menghasilkan,” kata Bujangan Urban.

Bujangan Urban menyadari graffiti menjadi menarik dan berbeda dengan aliran seni rupa pada umumnya, mengingat dalam graffiti yang dibutuhkan bukanlah kemampuan menggambar yang mumpuni, melainkan “nyali” yang besar.

“Nyali harus pertama, man. Lo jago gambar tapi gak punya nyali, gak bakal bisa bertahan di sini. Ngomongin graffiti itu nyali yang pertama, kalau lo gak punya nyali, yaudah. Karena graffiti itu bener-bener di luar banget, bukan di galeri,” katanya.

Graffiti Adalah Gaya Hidup

Tidak pentingnya kemampuan menggambar, bagi Bujangan Urban bukan berarti seni graffiti bisa dilakukan dengan seenaknya, namun semua orang bisa mempelajarinya dengan terus berlatih, menyaksikan seniman lain sebagai referensi, dan berdiskusi dengan banyak orang yang ada dalam komunitas. Bahkan yang paling ekstrem, Bujangan Urban yang kerap diundang pameran di luar negeri menganggap, graffiti baginya bukanlah kesenian, melainkan gaya hidup.

“Gue gak pingin bawa ini (graffiti) sebagai politik, gue gak pingin ini sebagai suatu kesenian, gue pingin ini cuma jadi lifestyle. Ini sama aja kayak ngomongin musik, meski lo udah tua tapi kalau lo memang anak musik, lo pasti akan terus ngeband, ini gaya hidup lo. Tapi kalau graffiti dianggap seni, nanti lo bakal ngomongin skill, entar lo keren-kerenan, mulai konflik segala macem. Biarlah ini menjadi gaya hidup,” kata Bujangan Urban.

Foto: Gardu House

Menempatkan graffiti sebagai gaya hidup ketimbang kesenian, bagi Bujangan Urban merupakan cara lain untuk membebaskan graffiti dari “nilai-nilai”. Baginya para pelaku street art, khususnya graffiti, tidak perlu dibebani dengan “seni yang berisi”. Propaganda graffiti justru ada pada perlawanan dari sistem dominan di masyarakat, segala sesuatu yang dianggap mapan. 

“Graffiti lebih personal, maksudnya gak harus ada propaganda di dalamnya. Kita sekarang bukan lagi ngomongin ideologi. Maksudnya, temen-temen di sini gak pernah mikirin, tujuan kita gambar itu kita mau mengubah orang. Gak pernah,” kata Bujangan Urban.

Kerasnya aktivitas street art di Jakarta telah dirasakan Bujangan Urban bersama komunitas Gardu House. Untuk mempertahankan eksistensi, mereka perlu secara masif membuat gambar di banyak tempat. Bahkan tak jarang komunitas ini harus berhadapan dengan polisi, warga, dan mereka yang menganggap kegiatan street art sebagai aksi vandalisme.

“Ini memang vandal, graffiti itu vandal, benar. Karena roots dari awalnya memang begitu. Tapi orang cuma ngeliat menyamakan kita sama tukang corat-coret gak jelas, padahal banyak aktivitas positif juga yang kita lakuin. Kita bertanggung jawab. Kita bikin workshop ke kampung-kampung, diundang pameran ke luar negeri tanpa bantuan siapa pun,” kata Bujangan Urban.

Sepanjang keberadaannya, Gardu House kini bukan lagi menjadi tempat "nongkrong" belaka. Di rumah yang kental nuansa keakraban ini juga banyak dijual perlengkapan street art, mulai dari cat semprot kualitas impor, caps beraneka ukuran, sketch dan pinsil warna, hingga kaus dan aksesori lainnya. Tiap minggu komunitas ini juga menggelar acara menggambar, sebagai sarana silaturahmi dan edukasi.

Video: Artherapy Movement

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya