Liputan6.com, Semarang - Usai kasus telat kaget, ada lagi cerita tak biasa dari persidangan kasus penyelundupan sabu 97 kg di Jepara. Terdakwanya kali ini adalah Faiq Akhtar, warga negara Pakistan yang tak paham bahasa Indonesia.
Peristiwa yang berlangsung di PN Semarang, Selasa, 15 November 2016, diawali ketika majelis hakim yang diketuai Sartono SH membacakan amar putusan. Dalam amar putusan itu, hakim menilai terdakwa melanggar Pasal 113 ayat 2 jo Pasal 132 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Majelis hakim juga menyebutkan hal-hal yang meringankan terdakwa. Peran Faiq dalam perkara tersebut bukanlah otak penyelundupan, melainkan hanya disuruh untuk menyerahkan uang.
"Terdakwa bertanggung jawab. Meski masuk jaringan nawaz atau Pakistan, bukan merupakan otak jaringan, tapi terdakwa hanya orang yang disuruh untuk mengurusi keuangan," kata Sartono.
Sebelum Sartono membacakan bagian vonis hukuman, Faiq yang selalu mengenakan masker itu diminta berdiri. Faiq kemudian berdiri setelah diberi tahu kuasa hukumnya.
"Menjatuhkan pidana dengan pidana penjara seumur hidup," kata Sartono.
Baca Juga
Advertisement
Beberapa detik kemudian, tubuh Faiq mulai limbung hingga jatuh terjerembab di lantai keramik. Pegawai PN dan polisi yang mengawal menunggu segera menolong karena terdakwa tidak kunjung bangun.
Saat diangkat, ternyata Faiq masih sadar dan didudukkan kembali ke kursinya. Kuasa hukum terdakwa Reffendi mengatakan, kliennya kemungkinan salah mengerti dengan putusan hakim yang menyatakan hukuman seumur hidup sehingga syok dan terjatuh.
Menurut Reffendi, terdakwa mengerti Bahasa Indonesia namun tidak lancar termasuk soal istilah hukum. "Dia sangat syok, dia warga negara asing. Mungkin pengertian dia soal seumur hidup itu seperti apa. Apalagi sebelumnya, jaksa menuntut hukuman mati," kata Reffendi.
Dalam perkara tersebut, Faiq yang bekerja sebagai seorang office boy (OB) di PT Haniya Khan Shaza Haji dan Umroh Jakarta itu berperan sebagai penampung dan distribusi keuangan jaringan. Ia dan istri sirinya, Ernawati yang kini sedang menjalani proses hukum di PN Jakarta menampung uang jaringan dengan total Rp 512 juta.
Uang tersebut didistribusikan kepada anggota jaringan dalam penyelundupan sabu dari Tiongkok ke Indonesia tersebut. Faiq menyalurkan uang dari terdakwa Muhammad Riaz alias Mr Khan yang sebelumnya dihukum mati, kepada terdakwa Julian Citra Kurniawan untuk mengurus izin impor 97 kg sabu yang disembunyikan di antara 194 genset.
Denda Rp 1 Miliar untuk Sang istri
Sementara itu Peni Suprapti terus menangis. Sebuah handuk kecil warna merah digunakan untuk mengusap air mata dan menutupi wajahnya. Istri Mr Khan atau Muhammad Riaz ini terus menangis.
Sebelumnya, sang suami yang menjadi terdakwa utama penyelundupan narkoba hingga 97 kg dari Tiongkok ke Indonesia dijatuhi vonis mati. Kini Peni mendapat vonis penjara 18 tahun dan denda Rp 1 miliar.
Dalam amar putusannya, hakim ketua, Faturrokhman mengatakan terdakwa melanggar pasal 113 ayat 2 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
"Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara 18 tahun dan denda Rp 1 miliar, subsider 6 bulan penjara," kata Faturrokhman.
Putusan tersebut sama dengan tuntutan jaksa penuntut umum. Hakim menilai terdakwa melakukan pemufakatan jahat dengan suaminya, Muhammad Riaz alias Mr Khan yang merupakan warga negara Pakistan.
Peni menampung uang Khan di rekening pribadinya yang digunakan untuk mengurus impor 97 sabu yang berada di antara 194 genset dari China ke Indonesia. Sepanjang sidang Peni terus menangis. Tangisan itu pecah seketika saat hakim selesai membacakan vonisnya.
"Kami kuasa hukum dan terdakwa tidak sependapat dengan putusan ini. Kami banding hari ini juga," kata Yosep Parrera.
Khan ditangkap BNN di Jepara saat sedang membongkar genset berisi sabu. Khan merupakan bos gembong yang mengatur masuknya sabu tersebut hingga bisa sampai ke Jepara.