Liputan6.com, Jakarta - Pemilihan presiden Amerika Serikat (pilpres AS) telah berlangsung pada 8 November lalu. Donald Trump meraih kemenangan dengan perolehan lebih dari 270 suara elektoral (electoral vote).
Jumlah elektoral di AS ada 538, sehingga angka 270 merupakan batas ambang kemenangan suatu calon.
Karena perolehan 290 suara elektoral yang jelas melebihi ambang 270, mudah menentukan pemenangnya. Tapi bagaimana kalau dua calon itu sama-sama mendapatkan 269 suara elektoral?
Baca Juga
Advertisement
Dikutip dari Live Science pada Rabu (16/11/2016), ulasan 270towin.com memaparkan adanya 100 skenario berbeda yang memungkinkan dua calon sama-sama mendapatkan 269 suara elektoral.
James Melcher, ilmuwan politik di University of Maine di Farmington, mengatakan, "Bisa saja mendapatkan 269 kalau semuanya parameter tepat."
Tapi, kebanyakan analis politik tidak terlalu sepakat. Sam Wang, profesor ilmu syaraf di Princeton University sekaligus pengasuh Princeton Election Consortium, mengatakan kepada Live Science, "Sangat jarang demikian."
Prediksi di sejumlah situs semisal fivethirtyeight.com menyebut kemungkinannya hanya 0,6 persen, sedangkan kemungkinan jalan buntu pemilu hanya 1 persen.
Mengakhiri Jalan Buntu
Dalam hal ketiadaan calon yang mendapat suara mayoritas, House of Representatives memutuskan kandidat yang menjadi presiden, demikian menurut Lyle Scruggs, ilmuwan politik di University of Connecticut. Tapi, kongres masih terikat oleh suara elektoral.
Menurut Pasal II, Ayat 1, Butir 3 dalam Konstitusi AS, jika Hillary Clinton dan Donald Trump sama-sama memperolah 269 suara elektoral, maka House of Representatives yang ada harus memilih salah satu di antara mereka.
Karena Partai Republik sekarang sedang menjadi mayoritas di Kongres, maka Trump berkemungkinan akan menang, demikian menurut Scruggs.
Jika masih saja tidak ada yang mendapat suara mayoritas, maka kandidat dari partai ke tiga memainkan peranan.
Karena struktur suara elektoral yang memungkinkan pemenang mengambil semua suara, maka calon dari partai ke tiga harus berjuang keras. Misalnya, pada 1992, Ross Perot meraih 1/3 suara populer, tapi tidak satupun suara elektoral.
Suara terbanyak yang pernah diraih calon ke tiga adalah suara untuk George Wallace pada 1968. Ia meraup sedemikian banyaknya di Selatan, kata Melcher. Namun demikian, pada tahun ini 'gangguan' calon ke tiga amat kecil.
Akar Sejarah
Gagasan yang mempersilahkan Kongres menentukan presiden mungkin terdengar aneh, tapi para penyusun Konstitusi menggambarkan presiden sebagai yang dipilih oleh perwakilan sebagaimana halnya Parlemen memilih perdana menteri di Inggris, imbuh Scruggs.
"Karena saat itu belum ada partai-partai politik, mereka mengharapkan House of Representatives memilih presiden mereka."
Ketika sistem politik dirancang, Bapak Pendiri Amerika Serikat membayangkan tiap negara bagian mengirimkan suara elektoral ke favorit lokal maupun regional. Karena ada beberapa calon yang mengincar posisi puncak, Kongres lah yang memiliki putusan akhir, kata Scruggs.
"Gagasannya waktu itu adalah bahwa para pemegang suara akan menggunakan pertimbangan yang bijaksana," kata Melcher. Tapi itu tidak berlangsung lama.
Melcher melanjutkan, "Pada 1800, ada anggapan bahwa elektor hanya sekedar robot yang memilih secara terduga (bisa ditebak)."
Pada hakekatnya, Jefferson lah yang menciptakan pilihan kepada elektor yang kemudian berjanji memilih menurut suatu cara tertentu, demikian menurut Melcher.
Dengan menciptakan benih-benih partai-partai politik, Jefferson memastikan bahwa kandidat ke tiga lebih susah hadir, demikian menurut Melcher.
Terakhir kalinya Kongres memilihkan presiden adalah pada 1824, setelah 4 kandidat saat itu tidak ada yang meraih mayoritas dalam suara elektoral. Setelah tarik ulur berkepanjangan, Kongres kemudian memilih John Quincy Adams sebagai presiden, pungkas Melcher.