Negara Berkembang Bakal Tahan Hadapi Efek Kemenangan Trump

Defisit transaksi berjalan dan tingkat utang lebih rendah menguntungkan pasar negara berkembang.

oleh Agustina Melani diperbarui 16 Nov 2016, 15:07 WIB

Liputan6.com, Jakarta - Kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden Amerika Serikat (AS) telah mengejutkan pasar keuangan global. Akan tetapi, negara berkembang diperkirakan dapat mengatasi dampak dari kemenangan Donald Trump.

Direktur Morgan Stanley Asia Pasifik Gokul Laroia menuturkan pasar keuangan negara berkembang mengasumsikan dampak dari kampanye Trump soal kebijakan perdagangan proteksi, imigrasi, repatriasi modal. Persepsi tersebut mendorong aksi jual.

Namun, kombinasi dari perbedaan suku bunga tinggi, defisit transaksi berjalan dan tingkat utang lebih rendah sekarang akan membantu pasar negara berkembang dalam jangka panjang.

Laroia menuturkan, katalis itu mengecualikan China. Lantaran China memiliki "masalah istimewa". Di luar perdagangan, Trump menjanjikan mengenakan tarif 45 persen atas impor China. "Namun daratan China tidak mungkin akan terpengaruh dari oleh dinamika perdagangan keseluruhan dari Amerika Serikat," ujar dia, mengutip laman CNBC, Rabu (16/11/2016).

Sejak Trump memenangkan pemilihan presiden pada pekan lalu, mata uang emerging market telah merosot terhadap dolar Amerika Serikat. Mata uang Meksiko peso turun 9,66 persen, rupee India merosot 2,27 persen. Sedangkan rupiah tergelincir 2,07 persen.

Selain itu, imbal hasil surat utang global juga meningkat. Imbal hasil surat berharga bertenor 10 tahun naik di atas dua persen dari periode sebelum pemilihan umum (pemilu) 1,8 persen. Ini juga menciptakan sentimen negatif untuk aset di emerging market.

Imbal hasil obligasi yang lebih tinggi di negara maju itu meredupkan daya tarik pasar negara berkembang lantaran lebih berisiko dan membuat lebih mahal bagi peminjam dana di negara berkembang.

Berdasarkan data Institute of International Finance menunjukkan kalau investor asing menarik dana sekitar US$ 6 miliar atau sekitar Rp 80,32 triliun (asumsi kurs Rp 13.388 per dolar Amerika Serikat) dari delapan negara emerging market sejak pemilu baik di saham dan obligasi antara lain India, Indonesia, Korea Selatan, Thailand, Filipina, Afrika Selatan, Brazil dan Hungaria.

Kebijakan Donald Trump dinilai memicu tekanan inflasi di AS. Hal ini dapat mendorong bank sentral AS atau the Federal Reserve untuk menaikkan suku bunga lebih agresif. Laroia menuturkan, ketidakpastian masih meliputi kebijakan ekonomi pemerintahan Trump. "Kami lihat dulu isi kabinet Trump. Kemudian lihat pasar membuat beberapa keputusan, apakah itu benar," ujar dia.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya