Liputan6.com, Jakarta - Bareskrim Polri memutuskan meningkatkan kasus dugaan penistaan agama oleh Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menjadi penyidikan dan menetapkannya sebagai tersangka.
Ahok disangka melanggar Pasal 156 A KUHP tentang penodaan terhadap suatu agama dan Pasal 28 ayat 2 UU ITE tentang penyebaran informasi yang menimbulkan kebencian di masyarakat.
Advertisement
Pasal 156a KUHP, berbunyi dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pasal 28 ayat 2 UU 11/2011 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik berbunyi, setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Ancaman pidana dari Pasal 28 ayat (2) UU ITE tersebut diatur dalam Pasal 45 ayat (2) UU ITE yaitu pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000.
Meski ancaman hukumannya di atas lima tahun, calon gubernur nomor urut 2 ini tidak ditahan. Namun demikian, Ahok dicekal bepergian ke luar negeri.
Seperti ditayangkan Liputan 6 Petang SCTV, Rabu (16/11/2016), Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian mengatakan, penyidikan kasus dugaan penistaan agama dalam ucapan Ahok mengenai Surat Al Maidah ayat 51 di Kepulauan Seribu, dimulai hari ini juga. Tidak menunggu hingga Pilkada DKI 2017 selesai.
Tito juga menegaskan, penetapan Ahok sebagai tersangka berdasarkan alat bukti yang dikantongi tim penyelidik. Meski demikian sang gubernur nonaktif tidak ditahan karena suara penyelidik yang berjumlah 21 orang tidak bulat soal adanya tindak pidana. Selain itu, Ahok juga dinilai cukup kooperatif.
"Ketika dipanggil yang bersangkutan (Ahok) datang. Ketika posisinya sebagai cagub dalam Pilkada DKI, sekaligus sedang cuti sebagai gubernur, kecil kemungkinan kekhawatiran untuk melarikan diri," jelas Tito.