Liputan6.com, Jakarta - Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Partahi Tulus Hutapea dihadirkan sebagai saksi dalam kasus dugaan suap dengan terdakwa Raoul Adithya Wiranatakusuma dan anak buahnya, Ahmad Yani. Raoul selaku pengacara didakwa memberi suap terkait penanganan perkara perdata.
Dalam kesaksiannya, Partahi yang pernah menangani sidang perkara dugaan pembunuhan Wayan Mirna Salihin dengan terdakwa Jessica Kumala Wongso itu mengaku pernah bertemu dengan Raoul di PN Jakpus.
Advertisement
"Kalau ketemu di luar (gedung) tidak pernah. Tapi kalau di lorong mungkin pernah ketemu pas kita mau ke ruang panitera, mungkin pernah ketemu," ujar Partahi saat bersaksi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu, 16 November 2016.
Partahi membantah pertemuan itu dilakukan di ruang kerjanya. Dia juga membantah, pertemuan untuk membahas perkara perdata yang sedang ditanganinya. Tapi dia mengakui, kalau pertemuan itu digagas Muhamad Santoso, eks Panitera PN Jakpus.
"Dia (Raoul) pernah dibawa Santoso. Dibilang dia kuasa (perkara) 503. Saya tanya mau ngapain? Dia bilang mau mau kenalan saja. Sudah begitu saja. Tidak pernah (ada kesepakatan). Bicara perkara saja tidak pernah," kata Partahi.
Jaksa mendakwa pengacara Raoul Adithya Wiranatakusumah dan stafnya, Ahmad Yani menyuap eks Panitera Pengganti PN Jakpus, Muhammad Santoso dan dua hakim PN Jakpus, Partahi Tulus Hutapea dan Casmaya. Raoul dan Yani memberi suap sebesar SGD 3 ribu kepada Santoso, sementara SGD 25 ribu untuk Partahi dan Casmaya.
Suap diberikan untuk mempengaruhi putusan gugatan perdata antara PT MMS dan PT KTP. Raoul menjadi pengacara pihak KTP selaku tergugat dalam perkara tersebut.
Dalam dakwaan disebutkan, Raoul memberi uang Rp 300 juta kepada Yani yang kemudian ditukarkan menjadi SGD 30 ribu. Uang sebanyak itu kemudian dipecah. SGD 3 ribu untuk Santoso ditaruh di amplop putih berkodekan 'SAN', dan SGD 25 ribu di amplop lain berkodekan 'HK' yang diperuntukkan untuk Partahi dan Casmaya. Sementara sisanya SGD 2 ribu dikantongi Yani.
Jaksa kemudian mendakwa Raoul dan Yani dengan ancaman pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.