Liputan6.com, Pekanbaru - Gabungan tiga lembaga swadaya masyarakat (LSM) lingkungan, Eyes on the Forest (EoF) meminta Kepolisian Daerah (Polda) Riau mengusut keterlibatan 49 perusahaan hutan tanaman industri dan perkebunan karena diduga terlibat pembakaran lahan. Perusahaan-perusahaan itu sudah dilaporkan ke Mapolda Riau pada Jumat, 18 November 2016.
EoF yang terdiri dari Wahana Lingkungan Hidup, Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau dan World Wide Fund for Nature ini dalam laporannya juga menyertakan beberapa alat bukti.
"Empat puluh sembilan perusahaan ini secara berulang kali terbakar lahannya dari 2014 sampai 2016. Kita memiliki data dan bukti," ucap Koordinator EoF, Okto Yugo Setio di Pekanbaru, Jumat, 18 November 2016.
Dia menyebutkan, 49 perusahaan ini terdiri dari 30 perusahaan HTI dan sisanya merupakan perusahaan perkebunan. Adapun bukti yang disertakan adalah foto, video maupun data dari citra satelit.
"Dari data satelit dengan tingkat kepercayaan titik api di atas 70 persen, kebakaran terdapat di areal konsensi 49 perusahaan. Lokasinya selalu sama dan ini patut diduga perusahaan sengaja membakar untuk membuka lahan," Okto memaparkan.
Baca Juga
Advertisement
Okto menerangkan, data satelit itu kemudian diperkuat dengan penelitian dan investigasi yang dilakukan pihaknya. Di mana membersihkan lahan dengan cara membakar dapat menekan ongkos yang mencapai Rp 60 juta per hektare.
"Oleh sebab itu, kami mendesak Kapolda Riau yang selama ini berkomunikasi sangat baik dengan kami dapat mengusut tuntas ke 49 perusahaan tersebut," ujar dia.
Okto juga menyinggung instruksi Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian yang menegaskan tidak ada lagi surat perintah penghentian penyidikan (SP3) perkara lingkungan. "Intinya salah satu tujuan kami melaporkan ini ingin turut menjaga Riau bebas dari bencana karhutla di masa mendatang," ia menekankan.
Sebelumnya, adanya dugaan pembakaran untuk membuka lahan disampaikan Koordinator Jikalahari Woro Supartinah. Dia menyebut hal ini diduga dilakukan sebuah perusahaan perkebunan yang kasusnya dihentikan atau SP3 Polda Riau, beberapa waktu lalu.
Tak tanggung-tanggung, lahan yang terbakar pada tahun 2015 seluas 114 hektare sudah ditanami sawit.
"Umur kelapa sawit di lahan ini juga telah mencapai lebih kurang satu tahun, sama persis dengan rentang waktu pasca-karhutla tahun lalu sampai saat ini," kata Woro.
Selain itu, berdasarkan hasil riset langsung ke lapangan, lembaga non-pemerintahan ini juga menemukan hal serupa di areal konsesi milik tiga perusahaan perkebunan.
"Umurnya rata-rata setahun. Temuan ini menguatkan dugaan bahwa pembakaran sengaja dilakukan untuk tujuan menyuburkan tanah, sehingga dapat ditanami," Woro menegaskan.
Sepanjang September lalu, Jikalahari melakukan investasi lapangan terhadap areal yang terbakar pada 2015. Hasilnya, lembaga tersebut menemukan bukti jika karhutla yang terjadi di kawasan milik 15 perusahaan memiliki cukup bukti untuk diteruskan proses hukumnya.
Berbeda dengan pihak kepolisian yang telah menerbitkan SP3 terhadap kelima belas perusahaan tersebut. Saat ini, Walhi Riau sedang mengajukan praperadilan untuk salah satu perusahaan perkebunan sawit yang diduga terlibat pembakaran lahan di Riau.