WHO: Virus Zika Tak Lagi Kasus Darurat

Infeksi Zika dikaitkan dengan cacat lahir parah di hampir 30 negara.

oleh Tanti Yulianingsih diperbarui 19 Nov 2016, 13:46 WIB

Liputan6.com, Jakarta Virus Zika yang diakibatkan karena gigitan nyamuk dinyatakan tak lagi diperlakukan sebagai darurat medis internasional. Informasi itu disampaikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Dengan mengangkat status darurat yang telah ditetapkan selama 9 bulan, badan kesehatan PBB itu mengakui bahwa Zika memang ada namun sudah tak dalam kondisi darurat penanganannya.

Infeksi Zika dikaitkan dengan cacat lahir parah di hampir 30 negara. Termasuk microcephaly atau mikrosefalus, di mana bayi lahir dengan kepala abnormal berukuran kecil dan perkembangan otak yang terbatas.

WHO mengatakan lebih dari 2.100 kasus malformasi sistem saraf telah dilaporkan di Brasil saja. Meskipun virus ini umumnya disebarkan oleh nyamuk, disebutkan juga dapat menular secara seksual.

Peneliti belum lama ini justru menduga penyebab mikrosefali bukanlah virus zika melainkan pestisida yang disebut Pyriproxyfen.

Hanya sedikit orang yang meninggal karena Zika, dan hanya satu dari lima orang yang terinfeksi mengalami gejalanya, berupa demam, ruam dan nyeri sendi.

Dr David Heymann, kepala komite darurat WHO yang mengurusi virus, mengatakan Zika masih menjadi ancaman yang "signifikan dan abadi".

WHO sekarang akan bergeser dari penanganan darurat Zika ke pendekatan jangka panjang terhadap infeksi yang telah menyebar di seluruh Amerika Latin, Karibia dan sekitarnya.

Dari Mana Zika Berasal?

Infeksi virus Zika pertama kali diidentifikasi pada monyet di Uganda pada tahun 1947. Kasus pada manusia pertama dideteksi di Nigeria pada tahun 1954 dan mewabah di Afrika, Asia Tenggara dan Kepulauan Pasifik.

Sebagian kecil kasus Zika belum pernah dianggap sebagai ancaman utama bagi kesehatan manusia. Namun pada Mei 2015, dilaporkan terjadi penyebaran Zika di Brasil begitu cepat.

"Saat itu terjadi ledakan pandemi, kemunculan kembali si virus, benar-benar luar biasa," ungkap US National Institutes of Health seperti dikutip dari BBC, Sabtu (19/11/2016). 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya