Warisan Mbah Naryono Menjaga Harmoni di Tanah Dewa

Meski penduduk Dieng adalah Muslim, Mbah Naryono selalu mengajak warga setempat untuk menjaga candi peninggalan agama Hindu.

oleh Aris Andrianto diperbarui 19 Nov 2016, 18:15 WIB

Liputan6.com, Dieng - "Saya mengenal Mbah Naryono sejak 2011," ujar Budhi Hermanto, penggagas Jazz Atas Awan, saat berbincang dengan Liputan6.com, Rabu 16 November lalu.

Matanya menerawang jauh. Mengingat petuah-petuah Mbah Naryono yang kini sudah menghadap sang khalik pada 8 Oktober, bulan lalu.

Bagi Budhi, Mbah Naryono adalah sosok yang rendah hati dan toleran. Setiap tamu yang berkunjung ke rumahnya di Desa Dieng Kulon Banjarnegara, Mbah Naryono selalu menerima dengan tangan terbuka. Tanpa melihat latar belakang, suku, agama, ras dan golongan.

Ia berkisah, pernah suatu ketika ada seorang penganut Konghucu yang meminta doa restu. Mbah Naryono yang muslim pun mendoakannya.

Mbah Naryono juga dikenal sangat nguri-uri (menjunjung) kebudayaan peninggalan leluhur.

"Mbah Naryono selalu memimpin ritual ruwatan rambut gimbal dengan sepenuh hati. Tahun ini adalah kali terakhir ia memimpin ruwatan," kata Budhi.

Setiap ada pemeluk Hindu yang ingin beribadah di Dieng, Mbah Naryono selalu menemaninya. Meski penduduk Dieng adalah Muslim, Mbah Naryono selalu mengajak warga setempat untuk menjaga candi peninggalan agama Hindu.

"Keberagaman ini sebuah keniscayaan," kata Mbah Naryono waktu itu.

Harmoni di Dieng sudah terjaling sejak abad ke-7 (Aris Andrianto/Liputan6.com)

Jaga Harmoni di Tanah Dewa

Dua kelapa gading diletakkan di tengah rupa-rupa sesaji. Pada bagian tengah kelapa, terlukis gambar wayang Arjuna dan Srikandi. Sedangkan di sisi kanan dan kirinya tertata ketupat dan jajanan kampung.

"Sesaji ini khusus untuk persembahan mengawali tahun baru Islam atau 1 Suro," kata Mbah Naryono, 80 tahun, sesepuh adat Desa Dieng Kulon Kecamatan Batur Banjarnegara, saat ditemui sepekan sebelum ia meninggal dunia atau awal Oktober lalu.

Saat itu, ia sedang sakit. Udara dingin di Dieng membuatnya tak beranjak dari anglo yang sudah berumur puluhan tahun demi sekadar menghangatkan tubuh. Pun ia tetap menerima Liputan6.com dengan ramah.

Tradisi 1 Suro yang merupakan penanda tahun baru Islam itu diperingati di Dieng sudah lama. Kegiatan ini biasanya dipusatkan di tengah desa. Ada pengajian dan doa bersama yang diikuti oleh seluruh warga.

Pada inti ritual, ada penyembelihan kambing. Setelah disembelih, kepala kambing dikubur di tengah desa. Sedangkan, empat kakinya dikubur di empat penjuru mata angin di batas desa.

Dagingnya, dimakan bersama-sama setelah mereka melakukan kegiatan masak massal. "Makna simboliknya adalah kita mengambil daging untuk gizi dan kesehatan tubuh," kata Mbah Naryono menambahkan.

Sedangkan, kepala kambing ditanam dimaknai sebagai upaya untuk membuang jauh watak kebinatangan. Kaki yang ditanam di batas desa dimaksudkan untuk menolak bala dari luar.

Sesaji berupa kepala kambing memang agak mirip dengan upacara Hindu berupa Tawur Agung. Bedanya di upacara Tawur Agung, kambingnya dilempar ke kawah Sikidang sebagai persembahan ke Hyang Widhi.

Naryono mengatakan, meskipun mayoritas penduduk Dieng beragama Islam, agama dan kebudayaan Hindu tetap dihormati di tempat ini. Termasuk jika ada upacara agama Hindu, pemuda setempat akan melakukan penjagaan.

Ia mengatakan, Islam dan Hindu di Dieng bisa berjalan selaras. Tidak saling mematikan atau beroposisi biner.

Leluhur mereka, kata dia, selalu berpesan agar menjaga Dieng tetap damai dan harmonis. Meskipun selama ini ada kelompok-kelompok intoleran yang menganggap ritual orang Dieng sebagai bid'ah, mereka tetap tegak lurus dengan budaya mereka yang sudah terpelihara selama bertahun-tahun.

Selaras dan Saling Menjaga

Alif Faozi, Ketua Kelompok Sadar Wisata Dieng Pandawa mengatakan, selama ini pemuda selalu menjaga keamanan dan keheningan prosesi upacara yang dilakukan oleh umat Hindu.

"Kami menjamin keamanan mereka selama berada di sini," ujar Alif.

Ia mengatakan, penduduk Dieng saat ini tercatat ada 700 kepala keluarga. Belasan candi sudah ada di tengah mereka selama puluhan tahun. Selain itu, belasan masjid megah juga banyak terdapat di sekitar candi. Keduanya bisa berjalan selaras tanpa saling mengganggu.

Pemuda, kata dia, juga ikut terlibat dalam membersihkan lingkungan Candi. Selain sebagai pusat ibadah, candi juga didatangi wisatawan untuk berlibur.

Alif menambahkan, umat Hindu Bali tiap tahun ziarah ke Dieng untuk upacara Muspe atau Mabakti. Mereka mengambil air suci dari Gua Sumur yang terletak di dekat Telaga Warna.

Ia menyebutkan, penduduk Dieng merupakan pemeluk Islam taat walau pengaruh leluhur masih kental dalam berbagai ritual. Bahkan, satu dua ritual masih berbau ajaran animisme dan dinamisme.

Masyarakat Dieng tidak menutup diri terhadap pengaruh hal–hal modern akan tetapi masih ada beberapa tradisi yang dipegang teguh seperti dalam acara adat perkawinan, khitanan, kematian, kelahiran, dan ruwatan dalam kebudayaan Jawa.

Fenomena seperti ini sering terjadi pada masyarakat tradisional Jawa mengingat masyarakat tradisional Jawa masih percaya pada kekuatan di luar diri manusia.

Ritual menjaga keharmonisan di Dieng (Aris Andrianto/Liputan6.com)

Bentuk toleransi lainnya, kata dia, meski sebagai pemeluk Islam taat, setiap ada orang yang membakar kemenyan di candi, mereka tidak akan diganggu. Selain itu, mereka yang melakukan semedi dan pertapaan juga dibiarkan begitu saja.

Sejak Abad ke-7

Wakil Bupati Banjarnegara, Hadi Supeno mengatakan, harmoni agama di Dieng memang sudah terpelihara lama. "Salah satunya bisa dilihat dari seni budaya yang tumbuh di Dieng," kata dia.

Ia mengatakan, masyarakat Dieng menciptakan tarian Rampak Yaksa Pringgondani. Tarian ini dimainkan oleh 60 orang. 

Menceritakan tentang karakter Yaksa atau raksasa. Penari semuanya adalah laki-laki dan memakai aksesoris yang bertampang sangar dengan riasan wajah raksasa.

Gerakan tariannya sederhana, kasar dan terkesan gagah. Tarian ini terlihat sangat laki-laki.

Pembeda dalam tarian ini adalah karakter Gatot Kaca yang hadir seorang diri di tengah sekumpulan raksasa. Meski demikian, Gatot Kaca sesungguhnya merupakan tokoh sentral dari tema tarian ini.

"Sebab tarian rampak Yaksa menggambarkan tentang kelahiran Gatot Kaca, Ksatria Pandawa dari tanah Pringgodani," kata dia.

Adapun di Dieng juga ada sebuah kawah yang dinamakan Kawah Candradimuka. Kawah inilah dalam kisah pewayangan yang digunakan untuk mendidik Gatotkaca.

Meski tarian ini bernuansa kisah yang sering digunakan dalam agama Hindu, penduduk Dieng melihat hal itu sebagai nilai peradaban yang sudah terpelihara bertahun-tahun. 

Tari Rampak Yaksa biasanya dipentaskan pada acara adat seperti Ruwatan Rambut Gimbal, Sedekah Bumi dan acara adat lainnya. "Arti dari tari ini adalah jika rakyat disatukan oleh pemimpin yang cerdas dan bisa menjadi teladan maka akan menjadi kekuatan dahsyat," kata dia.

Mantan Bupati Wonosobo yang juga penulis buku 'Mata Air Peradaban', Kholiq Arif mengatakan, toleransi beragama di Dieng bahkan sudah ada sejak abad ke 7. Hal ini bisa dilacak dari sejumlah prasasti yang ada di Dieng.

Ia mencontohkan, kemerdekaan beribadah sudah ada dan tertulis dalam Prasasti Arjuna bertahun 809 masehi, Prasasti Wayuku 854 masehi, dan Prasasti Telaga Tanjung. Ketiga prasasti itu ditemukan di kawasan Dieng.

Selain jaminan kemerdekaan memeluk ibadah, prasasti tersebut juga mengatur pemberian Sima atau tanah perdikan. Mereka yang melakukan ibadah di tanah perdikan itu mendapat perlindungan hukum dan keamanan.

Umat Islam dan Hindu hidup harmonis di Dieng (Aris Andrianto/Liputan6.com)

Sedangkan, kerukunan umat beragama antara Hindu dan Budha pada abad ke 7 tertulis dalam Prasasti Pangonan yang ditulis tahun 808 masehi. Prasasti ini ditemukan di atas bukit Pangonan.

"Kami belajar dari nenek moyang bagaimana hidup harmonis dengan perbedaan keyakinan," kata dia.

Sesepuh adat Paguyuban Sekehe Astiti Rahayu Rsi Markandya Gunung Sari Artha I Gusti Agung Mangku Arcana mengatakan, penduduk sangat toleran terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh umat Hindu Bali.

"Kami merasa tenang dan nyaman saat melakukan upacara di Dieng," kata Kholiq.

Ia mengatakan, meski kadang baru pertama kali bertemu dengan orang Dieng, umat Hindu Bali akan langsung merasa akrab. Mereka sudah menganggap umat Hindu sebagai saudara sendiri.

Meski demikian ada beberapa yang memang harus dikompromikan terkait perbedaan keyakinan dengan mayoritas penduduk Dieng yang beragama Islam. Sebisa mungkin, kata dia, ada dialog sebelum melakukan upacara keagamaan.

Selama ini, kata dia, keamanan umat Hindu saat menjalankan ritual selalu mendapt jaminan dari masyarakat setempat. Selain itu, sebelum memasuki tempat yang dianggap suci, mereka selalu minta ditemani sesepuh adat setempat untuk minta izin.

Pelibatan warga lokal untuk menjaga ritual mereka, kata dia, dimaksudkan bukan untuk penyebaran agama. Tapi sebagai balas budi, selama ini masyarakat Dieng sudah menjaga tempat-tempat yang dianggap suci oleh umat Hindu Bali.

Sejak beberapa tahun terakhir, kata dia, makin banyak umat Hindu Bali yang mendatangi Dieng. Ia berharap kedatangan mereka juga bisa menjadi penambah rezeki bagi warga yang membuka rumahnya untuk penginapan. "Berbagi rezeki lah," ujar Kholiq Arif.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya