Liputan6.com, Malang - Suasana di Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) Buring I di Kelurahan Buring, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang, Jawa Timur, sore itu tak begitu ramai. Di pelataran depan, beberapa pria berbincang sembari tetap duduk di atas motornya.
Suroso duduk di lantai pelataran belakang tempat huniannya. Menimang putri keduanya Fajra Nada Nadifa yang berusia empat bulan, ia bercakap-cakap dengan beberapa tetangganya. Di sudut lainnya, belasan bocah tampak bermain sepak bola.
Sudah satu tahun ini Suroso tinggal di lantai I rusunawa itu. Bersama istrinya, Yeni Setiawati dan putri pertamanya yang menginjak usia 8 tahun, Flavia Ayu Putri, mereka menempati hunian berukuran 4 x 6 meter dengan satu kamar tidur, ruang tamu, dan kamar mandi.
“Putri pertama saya berkebutuhan khusus, jadi ya menempati hunian di lantai I bersama penghuni yang sudah lanjut usia,” kata Suroso ditemui Jumat 18 November kemarin.
Ia dan keluarga kecilnya sebelumnya tinggal di rumah orang tuanya di Jalan Muharto VII Kelurahan Kedungkandang, Kecamatan Kedungkandang, tak jauh dari Rusunawa Buring I.
Ingin mandiri, jadi alasan Suroso memutuskan pindah ke rumah susun tersebut. Berbeda dengan kampung asalnya yang padat penduduk, rusunawa ini disebut Suroso lebih tenang.
“Cocok untuk keluarga kecil saya. Hubungan dengan sesama penghuni juga baik, tidak pernah ada keributan,” ucapnya.
Tiap bulan, Suroso harus merogoh duit sebesar Rp 75 ribu untuk uang sewa rusunawa itu. Biaya tambahan lain meliputi tagihan listrik dan air sebesar Rp 175 ribu dan iuran kebersihan Rp 10 ribu per bulan. Seluruhnya dibayar melalui pengelola rusunawa.
Baca Juga
Advertisement
Bekerja sebagai pedagang barang bekas yang keliling kampung, nominal uang sebesar itu dirasa masih cukup besar bagi kantong Suroso. Beruntungnya, ada toleransi keterlambatan pembayaran dari pengelola. Sehingga, meski menunggak sampai tiga bulan pun ia tak merasa dikejar pengelola agar segera melunasi.
“Tak tahu akan berapa lama tinggal di rusunawa ini, tapi tentu saya ingin punya rumah sendiri,” harap Suroso.
Hal senada dikatakan Sunarmi yang tinggal di Rusunawa Buring I lantai III blok A. Sudah sejak dua tahun lalu perempuan kelahiran Lumajang ini menghuni rusunawa itu. Bersama Salim suaminya serta seorang anak, menantu dan seorang cucunya berbagi ruang di salah satu hunian.
“Entah berapa sewa tiap bulannya saya tak tahu, karena yang bayar anak saya,” tutur Sunarmi.
Putra kandung Sunarmi sehari-hari berjualan es keliling jadi tulang punggung keluarga. Sebab, Salim suaminya tak bekerja. Suaminya merawat beberapa ekor ayam memanfaatkan sedikit petak kosong di rusunawa dan menjualnya pada yang berminat. Sunarmi sendiri mendirikan usaha kios bensin eceran di dalam komplek rusunawa itu.
Meski penghasilan tak seberapa, ia mengaku masih bisa menyisihkan sedikit uang untuk ditabung. Ini berbeda kala mereka masih tinggal di rumah kontrakan di Jalan Muharto VII. Saat itu, mereka harus mengeluarkan duit sebesar Rp 5 juta per tahun untuk kontrak rumah. Sudah tiga kali Sunarmi pindah rumah kontrakan sebelum tinggal di rusunawa ini.
“Dulu beberapa bulan sebelum kontrakan habis ya pusing cari duit pinjaman buat perpanjangan. Belum lagi kalau yang punya kontrakan menaikkan harga,” ucap Sunarmi.
Karena itu, ia bersyukur sejak tinggal di rusunawa itu tak pusing memikir duit dalam jumlah besar untuk sewa tempat tinggal. Meski pendapatan tak menentu, uang sewa tiap bulan yang dibayarkannya dinilainya tak terlalu mahal.
Rumah Susun yang Ramah
Keluarga Suroso dan Sunarmi adalah dua di antara 188 keluarga yang menghuni dua twin block Rusunawa Buring I dengan lima lantai itu. Rusunawa ini diperuntukkan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Mereka merupakan warga yang sebelumnya tinggal di bantaran kali Muharto, tak sampai 1 kilometer dari rusunawa ini.
Semua ukuran hunian sama berukuran 4 x 6 meter atau tipe 21. Fasilitas yang ada meliputi hall pertemuan, mushola dan tempat parkir. Untuk mendukung sistem keamanan, ada 38 unit closed – circuit television (CCTV) yang sudah dipasang pengelola. Rusunawa ini berdiri di atas lahan seluas sekitar 1.500 meter persegi milik Pemerintah Kota Malang.
Lokasinya cukup strategis, lantaran tak terlalu jauh dari kawasan Pasar Besar yang jadi tempat sebagian penghuni itu menyambung hidup. Rusunawa ini dibangun oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat pada 2013.
Diresmikan setahun berikutnya dan dihibahkan ke Pemkot Malang. Pengelolaan rusunawa ini ada di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Rusunawa di bawah Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan dan Pengawasan Bangunan Kota Malang yang dibentuk berdasarkan Peraturan Wali Kota Malang Nomor 12 Tahun 2003.
Kepala UPT Rusunawa, M. Damanhudi, mengatakan, seluruh penghuni rusunawa telah melewati verifikasi ketat guna memastikan bahwa mereka benar MBR dan belum punya rumah pribadi.
“Mereka yang sudah berkeluarga dan belum punya rumah, diprioritaskan menghuni rusunawa. Rata – rata sebelumnya tinggal di kawasan bantaran sungai,” ujar Damanhudi.
Tarif sewa hunian rusunawa itu diatur dalam Peraturan Wali Kota Malang nomor 41 tahun 2013 tentang Tata Cara Pengelolaan Rumah Susun Sewa. Tarif bervariasi, bergantung di lantai berapa mereka tinggal. Biaya sewa per bulan dikenakan sebesar Rp 75 ribu untuk penghuni lantai I, Rp 175 ribu di lantai II, Rp 150 ribu di lantai III, Rp 125 ribu di lantai IV dan sebesar Rp 100 ribu di lantai V.
“Penghuni masih dikenai biaya pemakaian listrik dan air, di tiap hunian dipasang meteran pemakaian,” ujar Damanhudi.
Pengelola rusunawa memberi toleransi keterlambatan bayar sewa maksimal enam bulan. Batas waktu itu telah disepakati bersama sejak kali pertama rusunawa ditempati. Jika sampai batas waktu itu tetap tak mampu membayar, maka sewa akan diputus secara sepihak.
“Kami memahami tingkat perekonomian mereka masuk kategori tak mampu. Karena itu ada toleransi tunggakan bayar sewa. Tarif sewa murah itu sudah bentuk subsidi bagi MBR,” ucap Damanhudi.
Selain rusunawa ini, sebenarnya masih ada dua rusunawa lagi yang dibangun oleh Kementerian PU-Pera yang kemudian dihibahkan dan dikelola oleh Pemkot Malang. Yaitu Rusunawa Tlogowaru yang dibangun pada 2014 silam. Rusunawa ini difungsikan sebagai tempat transit tenaga pendidik yang mengikuti diklat di Malang.
Berikutnya, Rusunawa Buring II yang bakal diresmikan di akhir November ini. Rencananya, Rusunawa Buring II ini juga diperuntukkan bagi MBR. Seluruh rusunawa itu dikelola melalui Unit Pelaksana Teknis (UPT) Rusunawa di bawah Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan dan Pengawasan Bangunan Kota Malang.
Jangan Salah Sasaran
Wakil Wali Kota Malang, Sutiaji mengatakan, program rusunawa bagi MBR juga merupakan salah satu upaya penataan kawasan kumuh di Kota Malang. Mereka yang tinggal di pemukiman tak layak di bantaran kali, disiapkan tempat di rusunawa.
“Memang belum semua bisa ditampung di rusunawa. Di Rusunawa Buring II, nanti juga akan kami siapkan bagi MBR. Sekarang masih dikaji warga kawasan mana yang bisa menghuni,” ucapnya.
Kepala Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Brawijaya, Abdul Wahid Hasyim mengatakan, pendirian rusunawa bermanfaat bagi penghuninya jika tetap mendukung akses perekonomian mereka.
“Rusunawa itu didirikan untuk MBR, tapi harus tahu karakter calon penghuninya bahwa yang utama bagi mereka adalah tetap bisa memenuhi kebutuhan perut,” kata Wahid.
Menurutnya, lokasi pendirian rusunawa harus tidak jauh dari tempat tinggal semula para penghuninya, serta akses transportasi tetap bisa dijangkau. Di sekitar rusunawa harus menawarkan berbagai kegiatan yang bisa mendukung perekonomian penghuninya. Sehingga, warga yang memilih hidup di rusunawa tetap bisa berdaya secara ekonomi.
“Kalau terlalu jauh dari tempat tinggal semula atau jauh dari tempat bekerja, penghuninya malah rugi. Tapi kalau akses ekonomi tetap bisa dicapai, itu tentu sangat baik,” ungkap Wahid.
Aspek keamanan, kenyamanan maupun kesehatan juga harus mendapat perhatian. Sehingga MBR penghuni rusunawa itu tetap merasa seperti di pemukiman semula. Namun yang tak boleh salah adalah bahwa penghuni harus benar – benar MBR, karena rusunawa itu memang diperuntukkan mereka.
“Awas salah sasaran, jangan sampai ada orang yang mampu tiba-tiba jadi salah satu penyewa rusunawa. Ini juga penting untuk diawasi,” tegas Wahid.