Liputan6.com, Banyuwangi - Pekerjaan membasmi tanaman akasia berduri atau Acacia nilotica di Taman Nasional Baluran, Jawa Timur, belum akan berakhir tahun ini. Atau mungkin sepuluh, hingga dua puluh tahun mendatang.
Akasia memberangus padang savana alami Baluran. Benteng terakhir mamalia yang terancam punah, selain banteng jawa, Baluran adalah tempat hidup 155 jenis burung dan 25 jenis mamalia lain, akasia nyatanya terlalu mudah berkembang.
Advertisement
Ketika kering, biji akasia mudah terbang bersama angin. Belum lagi biji-bijian yang tersebar melalui kotoran satwa yang memakannya.
Tujuan penanaman Acacia nilotica, 47 tahun lalu, adalah sebagai pagar api. Mencegah meluasnya kebakaran sabana bekol ke hutan musim yang ada di sekitarnya.
Awalnya, penanaman akasia berduri dari Afrika dianggap sebagai solusi ideal mencegah meluasnya kebakaran alias fire break. Namun langkah solusi kebakaran berubah menjadi petaka.
Akasia mulai menjajah kawasan savana. Dari luas 10 ribu hektare, kini tersisa 3.000 hingga 4.000 hektare savana.
Aksi penyelamatan ekosistem savana di Baluran yang terus tergusur akibat masifnya pertumbuhan akasiaa bukan pekerjaan mudah. Akasia bisa disebut musuh abadi baluran.
Aksotisme savana Taman Nasional Baluran, Jawa Timur, begitu terasa di sisi lain lokasi penebangan akasia.
Taman nasional seluas 25 ribu hektare, di ujung Pulau Jawa, tak hanya jadi magnet bagi turis hingga peneliti. Penghobi khusus juga punya ketertarikan di Baluran.
Baluran secara bahasa berarti tempat yang tinggi. Saat musim kemarau, suhunya mencapai 40 derajat Celcius. Hamparan savana, satwa liar dan sengatan matahari terik membuat pesonanya layak disebut Afrika van Java.
Data di tahun 1992, terdapat 338 ekor banteng liar, namun merosot tajam hingga tahun 2012 yang tercatat hanya ada 26 banteng liar terdeteksi. Bahkan pencarian banteng liar di siang hari tak membuahkan hasil.
Menjelajah Baluran seperti membuka sebuah tirai surga. Satwa-satwa hadir layaknya sebuah silaturahmi. Perjumpaan dengan ratusan Cervus timorensis atau rusa timor membuktikan betapa kuat ikatan di antara penghuni taman ini.
Satwa dengan satwa, satwa dengan flora, juga dengan habitatnya saling memberi, saling mengisi.
Kesempatan menjumpai satwa, memang lebih terbuka jika dilakukan di malam hari. Minimnya perjumpaan banteng di siang hari, memunculkan sebuah spekulasi. Banteng berubah menjadi hewan yang lebih aktif di malam hari atau nokturnal.
Minimnya literatur dan penelitian tentang banteng, menggelitik pengelola baluran mengamati langsung perilaku banteng di rumah pohon. Dugaan bahwa banteng berubah perilaku memang masih harus dibuktikan. Dan sebuah kamera trap membuktikan eksistensi banteng di sini.
Populasi banteng yang kian menurun, membuat Badan Konservasi Dunia menetapkannya masuk ke dalam status konservasi terancam punah sejak dua puluh tahun silam.
Bahkan persebaran banteng yang diperkirakan memenuhi daratan Asia Tenggara, telah dinyatakan punah di India dan Brunei Darussalam.
Perjumpaan dengan ajak atau anjing hutan mempertegas hadirnya ancaman bagi banteng. Salah satu predator banteng. Meski terbilang kecil, segerombolan ajak mampu merobohkan seekor banteng dewasa.
Saksikan selengkapnya tayangan si akasia yang mulai menjajah kawasan savana di Taman Nasional Baluran dalam Potret Menembus Batas SCTV, Minggu (20/11/2016) di bawah ini.