Liputan6.com, Naypyidaw - Negara bagian Rakhine di Myanmar kembali memanas. Pemicunya adalah serangan kelompok bersenjata terhadap tiga pos perbatasan yang terjadi pada 9 Oktober lalu. Sebanyak sembilan aparat kepolisian tewas sementara delapan anggota kelompok bersenjata itu pun turut menjadi korban jiwa.
Meski tidak secara langsung menuding para pelaku adalah warga Rohingya, namun otoritas setempat menjelaskan ciri-ciri yang mengarah pada etnik tersebut. Mereka mengatakan para pelaku penyerangan berbicara bahasa Bengali.
Advertisement
Peristiwa penyerangan ketiga pos perbatasan tersebut dianggap sebagai kekerasan terparah sejak serangkaian bentrokan komunal yang terjadi antara warga muslim Rohingya dengan penduduk Rakhine yang beragama Buddha.
Operasi militer pun diberlakukan di sejumlah wilayah di Rakhine. Tujuannya untuk "membersihkan" area itu dari kelompok bersenjata. Namun yang belakangan muncul adalah tudingan kesewenang-wenangan pihak militer, yakni berupa pemerkosaan dan pembunuhan warga sipil Rohingya.
Militer mengklaim telah menewaskan puluhan orang yang mereka sebut berusaha melakukan penyerangan dengan berbekal berbagai senjata seperti parang dan kayu. Sebagian besar pihak meragukan penjelasan tersebut.
Di lain sisi, organisasi pemantau hak asasi manusia (HAM), Human Right Watch (HRW) menguak fakta berbeda. Melalui foto satelit mereka mengungkap, terjadi pembakaran terhadap rumah-rumah warga Rohingya. Total rumah yang diratakan dengan tanah mencapai 1.250 unit.
Wilayah utara Rakhine memang menjadi "rumah" bagi kurang lebih 1 juta warga Rohingya. Kehadiran mereka bukan baru melainkan sudah sejak Abad ke-16. Beberapa menyebut etnik ini berasal dari Bangladesh.
Sejarawan berpendapat migrasi Rohingya yang cukup besar terjadi ketika Inggris menjajah Myanmar. Sementara sebagian lainnya datang setelah kemerdekaan Myanmar pada tahun 1984 dan Perang Kemerdekaan Bangladesh pada 1971.
Tahun 2012 menjadi titik penting dalam konflik sektarian antara muslim Rohingya dengan warga Rakhine yang mayoritas beragama Buddha. Pemicu konflik berdarah tersebut tak diketahui secara pasti.
Namun surat kabar The New Light of Myanmar edisi 4 Juni 2012 memuat dalam laporannya bahwa pemicu bentrokan adalah pemerkosaan dan pembunuhan seorang perempuan Rakhine asal Desa Kyauknimaw. Peristiwa ini dilatarbelakangi motif perampokan karena salah seorang pelaku mengaku butuh biaya untuk menikah.
Meski para pelaku telah ditahan pihak kepolisian, namun warga Desa Kyauknimaw tak puas. Mereka mendatangi kantor polisi dan mendesak aparat untuk menyerahkan ketiga pemuda tersebut.
Marah karena permintaan mereka tak dituruti, kerusuhan pun terjadi. Polisi bahkan sampai harus melepas lima tembakan untuk membubarkan massa.
Tak lama, beredar kabar tentang pembunuhan 10 warga muslim Rohingya yang tengah dalam perjalanan menuju Yangon. Praktis, sejak saat itu ketegangan meningkat.
Puluhan bahkan ratusan orang warga muslim Rohingya tewas akibat konflik di sepanjang tahun 2012. Warga Rohingya yang tidak diakui pemerintah serta merupakan kaum minoritas dilaporkan semakin menjadi "bulan-bulanan" dalam berbagai tindak kekerasan.
Di tengah situasi yang memanas, Wakil Presiden RI yang menjabat sebagai Ketua Palang Merah Indonesia pada 2012, Jusuf Kalla sempat berkunjung ke Myanmar. Usai bertemu dengan Presiden Thein Sein, Jusuf Kalla menjelaskan bahwa pemerintah Myanmar tidak melihat konflik di Rakhine dipicu oleh persoalan etnik atau agama, melainkan kasus kriminal biasa.
"Presiden Thein Sein menjelaskan tentang kejadian di Rohingya, khususnya yang dimulai pada Juni tahun ini. Dimulai dengan kasus kriminal di antara beberapa anak muda. Lalu, ada aksi saling balas, yang dengan cepat menjadi besar," kata Jusuf Kalla.
Kehadiran Jusuf Kalla di Myanmar saat itu untuk memberikan bantuan kemanusiaan selain tentunya membantu penyelesaian konflik mengingat ia memiliki pengalaman dalam menangani konflik pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
"Saya katakan, berdasarkan pengalaman kita, kehidupan masyarakat yang terlibat konflik harus diharmoniskan, disatukan kembali. Penyaluran bantuan, misalnya, harus menyentuh semua pihak yang bertikai," jelas pria yang akrab disapa JK tersebut.
Tak hanya Indonesia, namun sejumlah pihak seperti PBB, Turki dan sejumlah negara lainnya juga mengulurkan tangan terhadap puluhan ribu warga Rakhine yang terpaksa mengungsi sebagai dampak dari aksi kekerasan. Namun hingga detik ini, kekerasan belum mereda.
Konflik Agama?
Secara umum, publik mungkin melihat ini menyangkut dengan persoalan agama. Namun analis, Siegfried O. Wolf memiliki pandangan berbeda. Menurutnya, krisis di Rakhine bersifat politis dan ekonomis.
Wolf menjelaskan, konflik terjadi karena warga Rakhine merasakan ketidakadilan di mana terjadi diskriminasi secara budaya, eksploitasi secara ekonomi, dan tersingkir secara politik oleh pemerintah pusat yang didominasi etnis Burma.
Penduduk Rakhine melihat warga Rohingya sebagai saingan tambahan dan ancaman bagi identitas mereka sendiri.
"Warga Rakhine merasa dikhianati secara politis, karena warga Rohingya tidak memberikan suara bagi partai politik mereka. Ini menambah runcing persoalan. Sementara itu, pemerintah tidak mendorong rekonsiliasi, melainkan mendukung fundamentalis Buddha dengan tujuan menjaga kepentingannya di kawasan yang kaya sumber alam tersebut. Faktor-faktor ini adalah penyebab utama di balik konflik antar kelompok etnis dan antar agama. Ini juga jadi penyebab memburuknya kondisi hidup warga Rohingya, serta pelanggaran hak-hak sosial-politis mereka," jelas Wolf seperti dikutip dari kantor berita Jerman, Deutsche Welle.
Hubungan antar agama di Myanmar digambaran Wolf sangat kompleks. Warga muslim Rohingya, dikonfrontasikan dengan rasa takut mendalam terhadap Islam di sebuah masyarakat dan negara yang mayoritas rakyatnya beragama Buddha.
Sementara warga yang fundamentalis mengklaim bahwa kebudayaan Buddha serta masyarakat lokal terdesak oleh keberadaan muslim Rohingya. Terlebih, Myanmar dikelilingi sejumlah negara yang mayoritas rakyatnya beragama Islam, seperti Bangladesh, Malaysia, dan Indonesia.
Warga Rohingya pun dianggap sebagai ancaman terhadap gaya hidup dan kepercayaan Buddha. Yang lebih jauh lagi, etnik ini dipandang sebagai pembuka jalan menuju islamisasi Myanmar. Selain politik, ada faktor ekonomi pula yang turut memengaruhi konflik di Rakhine.
"Rakhine adalah salah satu negara bagian yang warganya paling miskin, meski wilayah itu kaya sumber daya alam. Sehingga warga Rohingya dianggap beban ekonomi tambahan, jika mereka bersaing untuk mendapat pekerjaan dan kesempatan untuk berbisnis. Pekerjaan dan bisnis di negara bagian itu sebagian besar dikuasai kelompok elite Burma," kata analis itu.
Solusi yang banyak digaungkan oleh berbagai pihak adalah dilakukannya rekonsiliasi nasional. Hal ini pernah disinggung oleh pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi. Namun belum dilaksanakan. Sementara ada pula yang menyoroti sangat penting bagi pemerintah Myanmar untuk mengakui kewarganegaraan masyarakat Rohingya sehingga hak-hak politik dan ekonomi mereka dijamin undang-undang.
Bungkamnya Sang Pejuang Demokrasi
Bertahun-tahun, nama Aung San Suu Kyi dielu-elukan sebagai pejuang demokrasi. Ia memimpin gerakan oposisi, melawan tirani, demi tegaknya hak asasi.
Namun suaranya nyaris tak pernah terdengar bicara secara lugas tentang konflik yang merenggut hak asasi manusia warga muslim Rohingya.
Publik menilai sudah terlalu lama ia diam. Dan sikapnya ini memicu pertanyaan, layakkah ia diganjar Nobel Perdamaian?
Sebelumnya, di Markas PBB pada akhir September lalu, Suu Kyi menjelaskan telah melakukan pendekatan terhadap masyarakat di Rakhine melalui pendirian Komisi Penasihat.
Komisi ini didirikan mantan Sekjen PBB Kofi Annan dan ditujukan untuk membantu penanganan masalah keamanan dan hak-hak dasar. Langkah ini ditentang sejumlah pihak. Meski demikian pemerintah mengacuhkannya dan memilih terus mempertahankan keberadaan komisi tersebut demi mewujudkan perdamaian di Rakhine.
"Dengan sikap teguh kami melawan semua prasangka dan intoleransi. Kami menegaskan kembali keyakinan kami untuk mempertahankan martabat dan nilai manusia," ujar Suu Kyi.
Putri dari pejuang kemerdekaan, Aung San itu pun menyebutkan bahwa pembangunan dan penciptaan lapangan kerja adalah prioritas pemerintah pusat yang dipimpinnya.
"Wilayah Rakhine serta warga muslim di sana hidup berkekurangan, dan kami ingin semua orang di sana dalam keadaan aman," kata ibu dari dua putra itu.
"Apa yang telah kami coba lakukan ialah menemukan solusi demi mengakhiri ketegangan komunal dan mencari cara mengakhiri semua perselisihan yang ada," pungkasnya.
Sementara itu, dalam lawatannya ke Jepang pada awal November lalu, Aung San Suu Kyi mengatakan, saat ini penyelidikan tengah berlangsung di Negara Bagian Rakhine atas dugaan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan militer berupa tindak pemerkosaan dan pembunuhan warga sipil Rohingya.
"Kami telah sangat berhati-hati untuk tidak menyalahkan siapa pun sampai kami memiliki bukti yang lengkap mengenai siapa bertanggung jawab untuk apa," ujar Suu Kyi seperti dikutip dari Reuters.
Sebagian meyakini diamnya Suu Kyi tak lepas dari faktor ia takut kehilangan dukungan mayoritas warga yang berujung pada terancamnya kekuasaan politiknya.
Lindsay Murdoch dalam tulisan kolom di The Sydney Morning Herald menyebutkan, dukungan mutlak mayoritas warga telah menempatkan Suu Kyi pada titik arogan. Karenanya Suu Kyi menilai ia tak lagi harus bicara soal Rohingya. Yang terpenting adalah dukungan kepada dirinya dan partainya.
Dalam tulisannya di Global Research pada Senin, 21 November 2016, Tony Cartalucci menjuluki Suu Kyi sebagai "diktator demokratis baru Myanmar". Julukan ini kurang lebih sama dengan yang pernah disematkan Lindsay sekitar tujuh bulan lalu ketika menyikapi kemenangan Suu Kyi dan partainya, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD).
Hingga saat ini tak ada perkembangan berarti yang terjadi di Rakhine khususnya yang dirasakan warga Rohingya. Laporan terakhir menyebutkan, sebanyak 3.000 warga Rohingya diberikan perlindungan oleh pemerintah China. Dan 500 orang dilaporkan menyeberang ke Bangladesh dengan membawa kisah horor.
"Tentara Myanmar membunuh ayah dan kakekku...," kata seorang remaja berusia 17 tahun, Mohammad Amin.
"Sejauh mataku memandang, yang tampak hanya rumah-rumah yang dibakar. Aku tak tahu bagaimana nasib ibu dan adikku," imbuhnya.