Liputan6.com, Brebes - Ratusan warga Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, diduga menjadi korban pungutan liar (pungli) Proyek Operasi Nasional Agraria (Prona). Sulam, seorang korban Prona di Desa Larangan Kecamatan Larangan, mengatakan pembuatan sertifikat tanah tersebut semestinya gratis.
"Tapi kenyataannya, kami harus mengeluarkan biaya," kata Sulan kepada Liputan6.com, Selasa, 22 November 2016.
Ia mengatakan alokasi Prona untuk Kabupaten Brebes pada 2017 mendatang sebanyak 17.000 bidang yang tersebar di sejumlah kecamatan. Setiap panitia desa meminta biaya mulai dari Rp 500 ribu hingga Rp 5 juta setiap pemohon.
"Di Desa Larangan saja, informasinya dari 1.000 bidang tanah prona, 700 di antaranya sudah membayar dengan nominal yang bervariatif kepada kepala desa ataupun tim panitia desa," ucap Sulam.
Baca Juga
Advertisement
Sulam pun mengeluhkan pungutan untuk pengurusan sertifikasi Prona yang nominalnya hingga jutaan rupiah. Uang itu, kata Sulan, digunakan untuk mengurus biaya pembuatan prona hingga ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) Brebes.
"Saya sendiri sudah membayar Rp 5 juta untuk bikin prona. Uang diterima langsung sama pak Kepala Desa (Subandi). Ini juga ada bukti kuitansinya," dia menambahkan.
Selain itu, kata dia, pihak kepala Desa Larangan dianggap arogan karena tidak melibatkan tim desa dalam mengambil keputusan terkait biaya prona yang dibebaskan kepada pemohon.
"Terus terang, yang kami sayangkan dan kecewa dengan sikap arogan kepala desa. Belum ada kesepakatan tim panitia prona desa, tapi sudah langsung menentukan besarannya sampai diminta minimal Rp 2 juta," ucap Sulam.
Terlalu Besar
Hal serupa juga dialami warga Desa Larangan, Kecamatan Larangan lainnya, Kidin. Ia mengeluhkan pungutan liar yang dialaminya untuk untuk membuat sertifikat prona.
"Padahal, kan, katanya gratis," kata dia.
Ia harus menyetorkan uang kepada pihak desa untuk pengurusan sertifikasi Prona sebesar Rp 2 juta. Kidin menyebut pembuatan sertifikat tanah Prona oleh BPN RI ternyata tidak berjalan sesuai dengan rencana.
Soalnya, biaya pembuatan sertifikat tanah itu dibebankan kepada pemohon hingga Rp 2 juta. Di sisi lain, sejumlah masyarakat dalam beberapa desa di Kecamatan Larangan beberapa pekan terakhir ini mengaku sangat resah dengan adanya pengutipan biaya pembuatan sertifikat tanah melalui Prona.
"Soalnya biaya pembuatan sertifikat tanah itu dibebankan kepada masyarakat dalam jumlah besar, yakni berkisar Rp 2 juta - Rp 5 juta per sertifikat," kata dia.
Parahnya lagi, lanjut dia, bila tidak menyerahkan uang sebesar yang ditetapkan, sertifikat yang telah dibuat itu tidak bisa dibuatkan di Kantor Pertahanan Kabupaten setempat.
"Setahu kami pembuatan sertifikat melalui Prona dilakukan secara gratis. Pak Presiden juga sudah menegaskan hal itu. Jujur saja kami tidak keberatan biayanya, tapi jangan terlalu besar jumlahnya seperti disini," dia menjelaskan.
Kidin membeberkan, besaran biaya untuk pembuatan sertifikat tanah itu ditentukan oleh aparat desa ataupun kepala desa dengan alasan untuk biaya administrasi transportasi, biaya makan dan uang rokok.
Hal ini bukan hanya terjadi di Desa Larangan. Menurut informasi, pungutan biaya pembuatan sertifikat melalui Prona itu juga terjadi di desa-desa lain di Kecamatan Larangan.
"Katanya nanti kalau ngurus sudah di BPN itu gratis. Yang dibiayai pemohon hanya materai sembilan dan empat patok serta fotokopi persyaratan pendukung lainnya. Ya kalau dibulatkan paling tidak biayanya Rp 200 ribu," dia menjelaskan.
Kepala Desa Berkelit
Terkait masalah itu, Kepala Desa Larangan Subandi membantah jika pihaknya meminta uang kepada warganya hingga jutaan rupiah untuk membuat sertifikat prona.
"Kami pihak desa nggak ngurusin seperti itu," kelit Subandi melalui sambungan telepon. Ia malah mengalihkan pembicaraan dengan melemparkanya kepada perangkat desanya saat hendak dikonfirmasi melalui sambungan telepon.
"Sudah ya, nanti saya kasih nomor orang perangkat desa yang ngurusin prona itu. Namanya Ali, dia perangkat desa," jawab dia.
Sementara itu, Camat Larangan, Supriyadi, mengaku sudah mendapatkan laporan terkait kekisruhan masyarakat di Desa Larangan lantaran biaya pembuatan prona yang sangat tinggi hingga jutaan rupiah.
Ia pun telah mencoba memediasi antara pihak perwakilan warga bersama pemerintah desa setempat. Meski demikian, mediasi itu tak menemui titik temu ataupun kesepakatan terkait biaya pembuatan prona.
"Sudah saya coba mediasi kepada semua pihak yang berkepentingan. Tapi buntu dan belum ada titik temu kesepakatan," ucap Supriyadi.
Untuk itu, upaya untuk memberikan solusi pihaknya segera menggelar musyawarah dengan mengundang ketua RT dan RW serta sejumlah tokoh masyarakat setempat.
"Dalam musyawarah itu, saya akan menekankan jika biaya prona tidak diperkenankan sampai memberatkan masyarakat," dia menandaskan.