Liputan6.com, Ankara - Presiden Recep Tayyip Erdogan marah terkait desakan Parlemen Uni Eropa (UE) untuk membekukan pembicaraan keanggotaan Turki di organisasi kawasan tersebut yang telah berlangsung selama satu dekade. Ia pun mengancam akan membuka perbatasan negaranya agar imigran ilegal membanjiri wilayah UE.
"Jika Eropa melangkah terlalu jauh, kami akan membiarkan pengungsi melintas dari wilayah perbatasan. Jangan lupa, Barat membutuhkan Turki," ujar Presiden Erdogan dalam konferensi hak-hak perempuan seperti dikutip dari The Guardian, Sabtu (26/11/2016).
Advertisement
Pernyataan Erdogan ini merupakan peringatan paling keras yang disampaikan secara langsung dan belum pernah dilakukan Turki sebelumnya. Ancaman tersebut menggarisbawahi bagaimana memburuknya hubungan kedua pihak dalam beberapa bulan terakhir terutama setelah upaya kudeta pada Juli lalu.
Pada Maret 2016 lalu, Turki dan UE menegosiasikan kesepakatan yang menghentikan arus masuk pengungsi terutama asal Suriah ke Eropa. Dengan imbalan, Turki akan diberikan bantuan ekonomi, pembicaraan soal bergabungnya Turki di UE akan dipercepat, serta warganya bebas visa di zona Schengen.
Namun kesepakatan tersebut "runtuh" usai terjadinya kudeta. Para pejabat Turki mengatakan Eropa gagal untuk menunjukkan dukungan setelah kudeta, melainkan sebaliknya mereka mengkritik upaya pemerintah Turki untuk melakukan "pembersihan" terhadap puluhan ribu pegawai negeri, pejabat militer, dan anggota kepolisian yang dituduh memiliki hubungan dengan Fethullah Gulen, ulama yang diyakini mendalangi pemberontakan.
Brussels, ibu kota UE, juga berulang kali mengkritik tindakan keras pemerintah Turki terhadap media dan politisi Pro Kurdi di mana mereka mengatakan kampanye tersebut telah memicu pertanyaan tentang komitmen Turki terkait dengan nilai-nilai yang dianut UE.
Presiden Parlemen UE, Martin Schulz menyarankan agar para pemimpin negara-negara Eropa dapat mempertimbangkan sanksi ekonomi terhadap Turki.
Kegaduhan terkait status Turki di UE ini bahkan telah menumbuhkan isu "Trexit" atau Turki Exit. Gagasan Trexit pada intinya merupakan referendum nasional untuk memutuskan apakah Turki akan melanjutkan pembicaraan aksesi ke UE.
Sementara itu, berbicara di Chatham House, Wakil Perdana Menteri Turki, Numan Kurtulmus, membantah bahwa hubungan negaranya dengan UE di ambang perpisahan.
"Apakah Turki mengubah mengubah geopolitiknya? Tidak," kata Numan.