Liputan6.com, Jakarta Seiring dengan berkembangnya zaman, peran wanita dalam dunia pekerjaan semakin dilihat dan diakui oleh masyarakat seantero dunia.
Beberapa dekade lalu, belum ada wanita yang berprofesi sebagai pejabat, bos atau pimpinan perusahaan, pebisnis, ketua partai atau pun presiden.
Bukan karena mereka tidak memiliki kemampuan dan kompetensi untuk menjalankan tugas-tugas tersebut. aNamun seperti layaknya orang jaman dahulu yang kolot, segala macam keputusan dibuat berdasarkan tradisi dan budaya yang sudah ada sejak ratusan hingga ribuan tahun lalu.
Kepercayaan pasalnya terbentuk dari budaya tersebut dan khusus untuk isu terkait peran wanita yang sudah mulai mendapatkan pengakuan dan penghargaan, orang-orang zaman dahulu beranggapan bahwa pria posisi, kedudukan, derajat serta kemampuannya berada di atas wanita.
Belum bersaing
Pemikiran ini kemudian bertahan selama berabad-abad sampai tahap awal memasuki era modern pun sempat tetap mendominasi.
Wanita dipandang sebagai sosok yang perannya hanya sekedar mengurus rumah tangga, sementara sang suamilah yang bebas memilih pekerjaannya untuk menafkahi seisi rumahnya.
Tidak hanya pekerjaan saja namun juga ada masa-masa tertentu di mana wanita bahkan tidak diperbolehkan menjadi murid sekolah atau universitas karena derajatnya dinilai tidak setara dengan pria.
Menurut informasi yang dimuat laman Live Science, Minggu (27/11/2016), pandangan atau penilaian terhadap wanita pada masa-masa tersebut merupakan efek dari stereotip gender.
Pada era-era di mana wanita perannya masih sangat kecil, hubungan antara suami dan istri secara umum tergolong akur dan harmonis. Ini dikarenakan setiap anggota keluarga menjalankan tugas dan peran masing-masing dalam kehidupan rumah tangga mereka.
Ayah bekerja mencari nafkah, ibu mengurusi kebutuhan rumah tangga dan anak pergi menimba ilmu. Dalam kondisi seperti ini tentunya tidak akan ada yang merasa tersaingi antar satu sama lain.
Mulai bersaing
Secara perlahan-lahan, keistimewaan wanita mulai terpancarkan, bukan hanya dari segi fisik saja, namun otaknya juga. Jumlah wanita yang bekerja di perkantoran dan bentuk lapangan pekerjaan lainnya kian meningkat.
Menyikapi perubahan ini, mungkin hampir semua pria seantero jagad menjadi ketar-ketir dan merasa terancam kedudukannya.
Melansir Psychology Today, sebuah makalah karya dua peneliti, Kate A. Ratliff dan Shigehiro Oishi membuktikan pria kemungkinan besar akan merasa harga dirinya diinjak oleh wanita sukses, apalagi kalau wanita itu adalah pasangannya.
Para pria pasalnya akan kehilangan kepercayaan diri mereka dalam jangka waktu panjang ketika mengetahui seorang wanita berhasil melakukan sesuatu lebih unggul, baik dalam dunia bekerja, bersosialisasi, dan lainnya.
Tidak hanya kesal melihat wanita bisa sukses, pria juga cenderung menyalahkan dirinya sendiri karena terkesan tidak sanggup melakukan suatu hal.
Advertisement
Persaingan sengit
Bersaing sengit
Diantara semua pria yang kemungkinan besar mengalami kesulitan memaklumi posisi berada di bawah wanita dari segi kesuksesan, yang paling merasa tersiksa adalah tipe pria yang tengah menjalin hubungan dengan wanita berkarir.
Meski merasa paling terpuruk namun pria tipe ini umumnya dianggap munafik dan licik. Ini dikarenakan pada masa awal pacaran ia cenderung bersikap seolah toleran dan mendukung karir pasangan wanitanya, tetapi beberapa bulan kemudian tiada henti mengutarakan keluhannya, baik secara langsung atau terselubung.
Mengutip Today’s Health, psikiater asal New York, AS bernama Gail Saltz memberikan contoh keluhan pria yang disajikan dalam bentuk kata-kata tak enak didengar dan juga perilaku kurang stabil.
“Sang pria awalnya sok peduli dan mengatakan turut bahagia saat si wanita memberitahukan dirinya mendapatkan promosi di kantor, namun tidak lama kemudian akan mengeluh karena tidak ada lagi waktu yang disisihkan untuk bersamanya,” kata Gail.
Ia melanjutkan, pria umumnya tidak mau ketahuan kalau dirinya iri atau merasa tersaingi jadi tidak akan secara langsung berkata bahwa ia tidak menyetujui kesuksesan si wanita.
Ia biasanya akan mencari celah untuk menjatuhkan sang wanita, tiba-tiba mengomentari cara si wanita berpakaian padahal sebelumnya tidak pernah, kemudian tiba-tiba beralasan stres kerja dan si wanita disalahkan karena terlalu sibuk tidak ada lagi waktu untuk bersama.
“Pria yang berjiwa kompetitif ini akan melakukan apa pun untuk membuat si wanita merasa tak enak, melepaskan status hebatnya, meninggalkan posisi pekerjaannya, untuk membuat dirinya merasa kuat, aman, lega dan puas kembali,” tambahnya.
Gail meneruskan, pria bisa menjadi sangat tega kepada wanita yang mereka pacari atau nikahi hanya karena satu hal ini: harga diri. Memang terdengar egois tapi tidak bisa dipungkiri bahwa keangkuhan bersaing pria, khususnya untuk kedudukan penting, sudah ada dan menjadi pedoman sejak jaman dahulu kala.
Tentunya perubahan pada sikap mereka pun juga perlu proses dan kesabaran sebagaimana wanita telah menunggu dan bersabar untuk mendapatkan pengakuan dan kesempatan.
Persaingan berakhir
Berhenti bersaing
Berhenti bersaing dalam hal ini bukan berarti pria mulai berubah memaklumi perkembangan wanita. Berhenti yang dimaksud adalah akhir dari hubungan percintaan yang telah dijalin dengan wanita yang dianggapnya ancaman karena karirnya sukses.
Sebuah makalah penelitian bertajuk “Gender Differences in Implicit Self-Esteem Following a Romantic Partner’s Success or Failure” karya dua profesor jurusan psikolog di University of Florida bekerja sama dengan University of Virginia, Kate A. Ratliff dan Shigehiro Oishi, menemukan fakta bahwa pria cenderung menjadi kurang semangat atau setengah-setengah dalam menjalankan hubungan mereka.
“Pria menjadi kurang optimis terhadap masa depan hubungannya, hatinya akan tergerak untuk mengakhiri hubungan cintanya atau berasumsi kuat sang wanitalah yang akan meninggalkannya,” Ujar Kate.
Ia berpendapat, keputusan pria untuk mengakhiri hubungan didasari perasaan takut jenjang pernikahan akan membuatnya secara resmi kehilangan kejantanannya dan melepaskan dirinya semakin susah dari pasangan wanita suksesnya itu.
Di lain sisi pria juga merasa berat melepaskan wanita yang ia sukai dan sayangi, tetapi percaya bahwa sang wanita akan meninggalkannya suatu saat nanti jadi tidak ada gunanya meneruskan hubungan tersebut.
Shigehiro menerangkan bahwa ironisnya, wanita sebetulnya tidak akan berpikir seperti yang diasumsikan para pria tersebut. Terlepas dari sukses atau tidaknya seorang wanita, rasa cintanya pada pria apalagi saat ia sukses justru akan meningkat dan mereka cenderung lebih termotivasi untuk mempertahankan hubungannya.
Kesimpulan dua peneliti ini telah dimasukan dalam rangkuman yang dipublikasikan dalam Journal of Personality and Social Psychology, seperti dimuat oleh situs Mint Press News.