Liputan6.com, Yogyakarta - Beberapa gempa bumi berskala kecil belum lama ini dirasakan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Ternyata, dalam satu dasawarsa atau kurun waktu 2006-2016, tercatat 453 gempa bumi dirasakan di DIY.
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) DIY mencatat, berdasarkan kedalaman, terdapat 451 gempa bumi kurang dari 60 kilometer dan dua gempa di antara 60-300 km. Sedangkan berdasarkan magnitudo, terdapat 239 gempa kurang dari 3 skala Richter, 104 gempa berkekuatan 3-3,9 SR, 60 gempa 4-4,9 SR, dan 50 gempa di atas 5 SR.
"Gempa punya periode ulang, kalau pernah terjadi berarti akan terjadi lagi sumber gempa akan terulang kembali, hanya kapannya tidak tahu," ucap Kepala BMKG DIY Nyoman Sukanta di Yogyakarta, Sabtu, 26 November 2016.
Baca Juga
Advertisement
Menurut dia, gempa terjadi karena akumulasi energi, sehingga hanya menunggu seberapa kuat bisa menahan. Beruntung, tutur dia, Jogja sering terjadi gempa kecil karena membuang energi dan potensi terjadinya gempa besar kecil.
Namun, imbuh dia, bila ada daerah yang pernah gempa dan tidak pernah ada gempa setelahnya, justru suatu saat bisa meledak.
Sukanta menjelaskan, Jogja rawan gempa karena berada di atas lempeng subduksi (lempeng lain yang menyusup), sehingga muncullah sesar lokal. Seperti sesar Opak, Oya, Dengkeng, Progo, serta sesar mikro lainnya yang belum teridentifikasi.
Secara umum di Indonesia, terdapat tiga lempeng yang membuat rawan gempa, yakni Indo Australia, Pasifik, dan Euroasia. "Itulah sebabnya seluruh daerah di Indonesia rawan gempa, tetapi tidak semua rawan tsunami," ujar dia.
Sukanta mengungkapkan, ada empat syarat untuk terjadi tsunami. Keempat syarat tersebut harus dipenuhi, yakni kekuatan gempa bumi di atas 7 SR, sumber gempa di laut, kedalaman dangkal atau kurang dari 30 km, dan bentuk patahannya berupa sesar naik atau turun.
Gelombang tsunami, menurut Sukanta, berbeda dengan gelombang laut. Tsunami menguruk dasar laut, sehingga air berwarna hitam dan dalam satu periode bisa berjarak sampai ratusan kilometer.