Liputan6.com, Jakarta - Kehidupan di Korea Utara masih merupakan sebuah 'misteri' bagi warga dunia. Kepemimpinan mutlak yang mengharuskan warga menghormati dan 'mendewakan' pemimpin, membuat beberapa aktivis menyebutkan bahwa penduduk tidak memiliki HAM di negara itu.
Contohnya saja, apa pun yang dilakukan oleh masyarakat harus mengagung-agungkan pemimpin terdahulu mereka, Kim Il-sung. Murid sekolah pun didikte dengan kisah-kisah kehebatan penguasa, tentang bagaimana ia mengusir Jepang dari Korea Utara.
Advertisement
Tidak hanya itu, kebebasan untuk memiliki apa yang diinginkan, bercita-cita, menonton televisi, dan mengakses internet, semua itu tidak didapatkan oleh warga.
Akibatnya beberapa orang yang ingin bebas memilih untuk membelot dan pindah ke negara tetangga seperti Korea Selatan, China, atau Jepang.
Seperti salah satunya yang dilakukan oleh Cho Chung-hui yang memilih untuk pindah ke Korea Selatan sejak 2011 lalu.
Melalui sebuah film dokumenter yang disutradarai oleh seorang pembuat film asal Rusia bertajuk 'Under The Sun', Cho mencoba mengungkapkan kepada publik seperti apa kehidupan sebenarnya di negara yang dipimpin oleh Kim Jong-un.
"Saya lahir dan besar di Korea Utara hingga 2011 silam, sebelum akhirnya saya memutuskan untuk pindah ke Korea Selatan," kata Cho dalam sebuah diskusi yang dilakukan setelah pemutaran film 'Under The Sun' di Ice Palace, Lotte Shopping Avenue, Senin 28 November 2016.
Dokumenter itu menceritakan tentang seorang bocah 8 tahun, Jin Mi, yang tengah mempersiapkan diri untuk peringatan ulang tahun Kim Il-Sung.
"Kisah yang dialami Jin Mi hampir sama dengan apa yang aku rasakan. Semuanya serba diatur, Anda bisa lihat sendiri di dalam film, bahkan untuk menyetrika pakaian saja ada aturannya," ujar pembelot tersebut.
Dalam dokumenter tersebut sang sutradara dapat dengan diam-diam merekam aksi di mana seorang'pengarah' mengatur apa yang harus dibicarakan oleh keluarga Jin Mi selama pembuatan film berlangsung.
Under The Sun juga memperlihatkan adegan di mana anak-anak seusia Jin Mi harus mulai masuk ke dalam kehidupan 'politik', seperti mengikuti kegiatan masyarakat yang dilakukan sekali seminggu.
"Sangat sulit untuk melakukan apa yang diinginkan, tidak ada kebebasan dan hak asasi manusia tidak berlaku di sana," kata pria yang berasal dari keluarga pembelot itu.
Ayah Cho juga keluar dari Korea Utara dan memilih untuk hidup di Jepang.
Pria pembelot itu mengatakan, latar belakang keluargalah yang menjadi salah satu alasan dia menjadi pembelot.
"Ayahku juga pembelot dan kami dianggap dari 'level' yang berbeda. Aku menjalani kehidupan yang sulit karenanya. Tapi aku harus selamat, harus memperjuangkan HAM," kata Cho.
Sebanyak 20 juta penduduk di Korut tidak mendapatkan hak mereka sebagai manusia. Untuk itu organisasi persamaan dan keadilan HAM dunia, bekerjasama untuk 'membebaskan' rakyat di sana.
"Korut tidak memperlakukan masyarakatnya sebagai 'manusia', mereka tidak punya HAM. Jadi sampai mereka mendapatkan haknya, kita harus terus berjuang," pungkas Cho.