Liputan6.com, Jakarta - Mantan Wakil Presiden (Wapres) dan juga mantan Menteri Keuangan, Boediono menceritakan betapa menantangnya pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang terkena imbas krisis moneter 1997-1998. Dia harus mengembalikan APBN lebih sehat, meyakinkan pelaku investor atas utang-utang yang menggunung sampai melakukan reformasi pajak.
Dalam Seminar Nasional Tantangan Pengelolaan APBN Dari Masa ke Masa, Boediono mengungkapkan pengalamannya mengelola anggaran negara di masa-masa kritis. Dia mengaku, pertengahan 1960, APBN Indonesia mengalami lepas kendali. Jejadian tersebut tak boleh terulang di tahun-tahun berikutnya.
"Makanya untuk mencegah krisis, ada rambu-rambunya. Di era Soeharto, konsepnya anggaran berimbang supaya menghindari APBN lepas kendali karena godaan APBN besar sekali, kancah tarik menarik kekuatan politik yang besar sekali. Jadi Menkeu harus tahan banting," jelasnya di kantor Kemenkeu, Jakarta, Rabu (30/11/2016).
Dalam menjalankan konsep anggaran belanja berimbang, pengeluaran tidak boleh lebih dari penerimaan. Saat ini, standarnya sudah skala internasional, ada penerimaan, belanja, dan defisit. Sementara dibuat rambu Undang-undang Keuangan Negara, di mana defisit fiskal tidak boleh melebihi 3 persen termasuk rambu rasio utang maksimal 60 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
"Konsep defisit anggaran dan rasio utang dalam UU ini dijiplak dari Eropa, karena waktu itu kita tidak punya perhitungan anggaran yang pas. Tapi itu bagus supaya utang tidak menjadi penyebab timbulnya gejolak," dia menerangkan.
Baca Juga
Advertisement
Boediono memaparkan, saat dilanda badai krisis 1997-1998, Indonesia mengalami komplikasi politik dan ekonomi sehingga masalahnya sangat besar. Sementara negara lain, tidak ada masalah politik. Dalam situasi krisis moneter ini, sambungnya, PDB Indonesia tergerus sepertujuhnya, dan diikuti dampak lain seperti Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan merembet ke gerakan politik.
"Parahnya lagi ada elnino atau kemarau berkepanjangan sehingga produksi pangan anjlok, harga beras naik tiga kali lipat dalam setahun. Kalau harga beras naik tinggi, semua goyang sehingga krisis yang mula-mula ekonomi bisa menjadi krisis sosial akibat masalah harga beras," terangnya.
Lanjutnya, Indonesia ketiban atau harus menanggung utang lebih dari Rp 600 triliun sehingga pelaku pasar terus mempertanyakan keberlanjutan APBN Indonesia. Investor, sambung Boediono, enggan masuk ke Indonesia sehingga pemerintah harus meyakinkan investor bahwa dapat melewati masa-masa sulit ini.
"Paling gampang motong pengeluaran, penerimaan dimaksimalkan dengan menggenjot penerimaan pajak walaupun tidak bagus karena ekonomi tumbuh negatif 13 persen, kemudian positif meski kecil 4 persen," tambah Boediono.
Pemerintah melakukan reformasi di bidang pajak. Sementara untuk menutup kekurangan anggaran, dia bilang, pemerintah harus menjual aset negara karena melakukan pinjaman ke luar negeri sangat tidak mungkin karena tidak ada yang mau memberi utang.
"Jadi dioptimalkan dari aset. Kita coba handle utang dengan baik, rescheduling utang jatuh tempo. Kita mau tunjukkan ke pelaku pasar meratakan beban ini sampai puluhan tahun ke depan akhirnya bisa teratasi," papar Boediono.
Pada akhir 2004, dia mengaku, tidak ada lagi pelaku pasar yang mempertanyakan kesinambungan APBN Indonesia. Selanjutnya, Indonesia normal kembali bisa mengakses pinjaman dari pasar luar negeri.
"Bersamaan dengan itu, kita putuskan untuk stop kerjasama dengan IMF, karena kita yakin sudah bisa. Tapi kita harus berupaya jangan sampai keputusan ini menimbulkan gejolak yang diperlukan. Akhirnya 2004, estafet pemerintahan berganti dalam kondisi lebih baik dibanding pada saat 2004," pungkas Boediono. (Fik/Gdn)