Liputan6.com, Jakarta Kabar terbaru dari krisis Rohingya adalah pecahnya kontak senjata antar militer Myanmar dengan kelompok bersenjata di wilayah negara bagian Rakhine.
Sejak 9 Oktober, pemerintah Myanmar telah memberlakukan operasi militer di utara Rakhine, dekat dengan perbatasan Bangladesh. Langkah itu diambil setelah mereka meyakini bahwa kelompok bersenjata yang terhubung dengan ISIS telah melancarkan serangan terkoordinasi ke sejumlah pos militer di perbatasan.
Baca Juga
Advertisement
Wilayah utara Rakhine dihuni oleh mayoritas muslim Rohingya yang jumlahnya mencapai 1,1 juta orang. Namun mereka mengalami diskriminasi mengingat Myanmar adalah rumah bagi kebanyakan warga beragama Buddha yang menganggap Rohingya sebagai imigran ilegal yang datang dari Bangladesh.
Pertikaian di tanah bagian Burma itu bukan hari ini saja, sejak puluhan tahun lalu etnis-etnis yang menetap di wilayah Rakhine sudah bersitegang. Tidak hanya antar etnis, namun juga tekanan dari pihak militer negara pun menambah panasnya wilayah tersebut.
Namun, nyatanya, pertikaian di wilayah Rakhine tidak melulu menyangkut persoalan agama seperti yang digemborkan pada tahun 2012, kala muslim Rohingnya bertikai dengan warga buddha Rakhine. Analis, Siegfried O. Wolf memiliki pandangan berbeda. Menurutnya, krisis di Rakhine bersifat politis dan ekonomis.
Wolf menjelaskan, konflik terjadi karena warga Rakhine merasakan ketidakadilan di mana terjadi diskriminasi secara budaya, eksploitasi secara ekonomi, dan tersingkir secara politik oleh pemerintah pusat yang didominasi etnis Burma.
Penduduk Rakhine melihat warga Rohingya sebagai saingan tambahan dan ancaman bagi identitas mereka sendiri.
"Warga Rakhine merasa dikhianati secara politis, karena warga Rohingya tidak memberikan suara bagi partai politik mereka. Ini menambah runcing persoalan. Sementara itu, pemerintah tidak mendorong rekonsiliasi, melainkan mendukung fundamentalis Buddha dengan tujuan menjaga kepentingannya di kawasan yang kaya sumber alam tersebut. Faktor-faktor ini adalah penyebab utama di balik konflik antar kelompok etnis dan antar agama. Ini juga jadi penyebab memburuknya kondisi hidup warga Rohingya, serta pelanggaran hak-hak sosial-politis mereka," jelas Wolf seperti dikutip dari kantor berita Jerman, Deutsche Welle.
Selain politik, ada faktor ekonomi pula yang turut memengaruhi konflik di Rakhine.
"Rakhine adalah salah satu negara bagian yang warganya paling miskin, meski wilayah itu kaya sumber daya alam. Sehingga warga Rohingya dianggap beban ekonomi tambahan, jika mereka bersaing untuk mendapat pekerjaan dan kesempatan untuk berbisnis. Pekerjaan dan bisnis di negara bagian itu sebagian besar dikuasai kelompok elite Burma," kata analis itu. Sesuai analisis tersebut, memang, data menyebutkan angka kemiskinan di wilayah bagian Rakhine mencapai 78%, tertinggi di Myanmar.