Kurangnya Pendidikan Seks 'Ancam' Kaum Muda di Tiongkok, Mengapa?

Setiap tahunnya, infeksi HIV terus bertambah di kalangan pemuda China. Tahun 2015 bahkan meningkat sebanyak 35 persen.

oleh Nurul Basmalah diperbarui 01 Des 2016, 14:42 WIB
Ilustrasi Foto Alat Kontrasepsi Kondom (iStockphoto)

Liputan6.com, Tiongkok - Ketika Xiao Niao berada di bangku SMA, gurunya memberikan pelajaran seputar seks, terutama mengenai penggunaan 'pil pagi', setelah berhubungan seks atau ketika menjadi korban kejahatan seksual.

Itu adalah batas pengetahuan seks formal yang pernah didapatkan Xiao Niao. Untuk jutaan anak muda China lainnya, pengetahuan seperti yang didapatkan oleh Xiao adalah sesuatu yang tak pernah mereka dapatkan.

Pada peringatan World AIDS Day atau Peringatan Hari AIDS di China pada Rabu 30 November 2016, bukti kurangnya pendidikan seksual terpampang nyata. Terjadi peningkatan jumlah penduduk yang terinfeksi HIV dan tingginya kasus aborsi di kalangan pemuda dan pemudi China.

Seperti dikutip dari CNN, Kamis (1/12/2016), pada 2015 ada sekitar 115 ribu warga yang terkena infeksi HIV di China. Laporan tersebut dikeluarkan oleh lembaga National Center for STD/AIDS Prevention dan Control.

Data menunjukkan bahwa sekitar 17 ribu atau 14,7 persen dari penderita HIV tersebut, berusia antara 15 hingga 24 tahun.

Walaupun jumlah tersebut kecil jika dibandingkan dengan jumlah keseluruhan warga Tiongkok, namun pertambahan setiap tahunnya di kalangan anak muda adalah 35 persen.

Perhitungan sementara hingga September 2016, ada sekitar 13 ribu warga yang terserang infeksi HIV, rata-rata usia 15 hingga 24 tahun.

Beberapa universitas pun dilaporkan menyediakan vending machine atau mesin yang menjual alat tes HIV kepada para pelajar.

"Tidak bisa hanya bergantung pada mesin untuk memecahkan masalah ini, kecuali ada pendidikan seks yang diberikan untuk membantu para murid," kata Xiong Binqi, wakil presiden badan penelitian 21st Century Education Research Center.

Binqi menyebutkan dia merasa bangga terhadap mahasiswa China karena membuat kemajuan besar dalam pendidikan seks. Namun, ia menambahkan, masih banyak yang harus dilakukan.

"Pendidikan seks menghadapi tantangan yang besar di China," kata jing Jin, guru besar sosiologi di Universitas Tsinghua, Beijing.

'"Di Tsinghua, mahasiswa mendapatkan pendidikan dasar mengenai keamanan seks, kondom, dan lainnya. Sejauh yang aku tahu, ini pertama kalinya bagi mahasiswaku mengikuti kelas tersebut," tambah Jing Jin.


Solusi Putus Asa Aborsi

Beberapa pendidik seks frustasi dan mulai mempromosikan pendidikan seks melalui media sosial seperti Buzz, Bloom, dan Yummy.

Diperkenalkan tahun 2015, Buzz dan Bloom memberikan pendidikan seks dan saran kesehatan melalui pesan aplikasi WeChat.

Menurut keterangan dari salah seorang pendiri Bloom dan Yummy, Stephany Zoo, ide untuk membuat layanan tersebut muncul ketika di mengunjungi klinik aborsi di Shanghai.

Kala itu dia dan temannya menemukan bahwa prosedur aborsi merupakan sesuatu yang tidak 'dipersiapkan' oleh beberapa perempuan muda yang sedang menunggu giliran di ruang tunggu.

"Banyak wanita yang ingin menjalankan aborsi tanpa mengetahui apa yang akan mereka alami saat melakukannya," kata Zoo.

Bagi kebanyakan wanita muda di China, aborsi merupakan cara 'mengontrol kelahiran'.

Menurut perhitungan statistik resmi China, lebih dari 13 juta aborsi dilakukan oleh perempuan China setiap tahunnya. Namun jumlah tersebut belum termasuk angka dari klinik tak resmi dan aborsi non-operasi.

"Banyak perempuan China yang menggugurkan kandungan mereka karena kurangnya pendidikan seks, terutama pengetahuan mengenai alat kontrasepsi," kata pendiri Yummy, Zhao Jing.

"Mereka beranggapan aborsi itu seperti 'tidur siang', seperti yang diiklankan kepada mereka," lanjut Jing.

Bloom dan Yummy bertujuan untuk menjadi wadah penampung bagi penduduk China untuk mendiskusikan semua hal mengenai seks.

"Pembicaraan mengenai seks bisa menjadi sangat tidak menyenangkan, kadang berbicara mengenai menstruasi pun bisa membuat tak nyaman," kata Zoo.

"Masih ada beberapa orang yang 'terperangkap' dalam budaya malu jika membicarakan sesuatu yang berkaitan dengan kesehatan seksual dan tubuh," lanjut perempuan 24 tahun itu.

Sementara itu Jing yang berusia 33 tahun mengatakan bahwa, dengan tidak adanya wadah penampungan untuk keluhan tersebut, mereka mencari informasi dan saran dari sumber yang salah.

"Pria belajar dari pornografi Jepang. Sementara perempuan belajar dari cinta satu malam. Mereka lebih seperti 'Oke, ayo coba saja,' tanpa menggunakan kontrasepsi," kata Jing.

Bahkan ketika seorang perempuan tahu bahwa dia dan pasangannya harus menggunakan kondom, mereka terlalu malu untuk mengatkan hal tersebut kepada sang pria.

"Hal tersebut terjadi karena di China masih ada yang percaya bahwa pria lebih mendominasi dalam seks dibandingkan wanita," ujar Jing.

"Pernah seorang wanita mengatakan kepadaku, kekasihnya meyuruh dia untuk menahan napas selama berhubungan intim. Dengan begitu dia tidak akan hamil," kata Zoo.

Walapun khawatir akan adanya peningkatan jumlah penderita HIV, permerintah tidak fokus untuk membuat sebuah program pencegahan jangka panjang. "Pemerintah hanya berfokus pada acara besar seperti World AIDS Day," kata Zoo. 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya