Liputan6.com, Jakarta - Pada 17 Juni 1985, pesawat Discovery yang mengangkasa dari Kennedy Space Center, Amerika Serikat membawa seorang pemeluk agama Islam : Sultan bin Salman bin Abdulaziz Al Saud.
Pangeran Arab Saudi itu menjadi astronot muslim pertama di angkasa luar.
Advertisement
Misi berlangsung selama 7 hari, 1 jam, 38 menit, dan 52 detik. Sang pangeran menuju ke titik 4,67 juta kilometer dari Bumi -- ke tempat yang tak pernah diinjak saudara sebangsanya.
Saat melihat Bumi hanya setitik kecil, ia mengalami pengalaman spiritual. "Di sana kita akan menyadari betapa kecilnya manusia. Kita hanyalah setitik debu di alam semesta," kata dia seperti Liputan6.com kutip dari The National.
Sang pangeran mengakui, detik-detik ketika ia mengangkasa buat dirinya berdebar. "Jika seseorang berkata momentum itu tak menakutkan, sudah pasti ia bohong. Aku berdoa setiap saat. Peluncuran dan pendaratan adalah saat-saat mendebarkan."
Sebagai muslim, Sultan adalah manusia pertama yang salat dan melantunkan ayat-ayat suci Alquran dalam kondisi nol gravitasi.
Bagaimana cara ia salat di angkasa luar?
Sultan mengatakan, seorang muslim bisa berdoa kapan saja. "Menghadap ke segala arah. Seperti di pesawat luar angkasa, Anda tahu, kita tidak bisa benar-benar menghadap ke Mekah. Ke kiblat," kata dia seperti dikutip dari situs WBUR.
Namun, tak mudah untuk melakukan gerakan salat. "Saya harus mengikat kaki saya agar bisa sujud. Tapi, itu tak bisa dilakukan dengan sempurna karena kurangnya gravitasi."
Dalam kondisi musafir atau bepergian jauh, seorang muslim mendapat keringanan dalam beribadah.
"Sebagai musafir, saya sembahyang 3 kali sehari, bukan 5 kali. Dan saya salat berdasarkan waktu Florida, ketika pesawat kami mengangkasa."
Mencari Kiblat dan Suara Azan Misterius
Astronot pertama asal Malaysia, Sheikh Muszaphar Shukor pergi ke luar angkasa 10 Oktober 2007 lalu, menumpang pesawat luar angkasa Rusia, Soyuz.
Perjalanan Shukor ke luar angkasa selama enam hari di Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) bertepatan dengan Bulan Ramadan. Ia seorang muslim taat yang ingin menunaikan kewajiban salatnya tetap menghadap ke kiblat: Kabah di Mekah.
Itu yang menjadi masalah, ISS yang mengorbit 220 mil atau sekitar 354 kilometer di atas permukaan Bumi, di mana kiblat berubah dalah hitungan detik. Arah Kabah bahkan bisa berubah 180 derajat hanya dalam sekali salat.
Lembaga Antariksa Malaysia, Angkasa langsung menggelar sebuah konferensi yang diikuti 150 ilmuwan Islam untuk memecahkan masalah ini.
Hasilnya, panduan beribadah di ISS yang disetujui komisi fatwa Negeri Jiran, kiblat bisa ditentukan berdasarkan "peluang" para astronot. Prioritasnya, dari yang utama adalah: Kabah, proyeksi Kabah, Bumi, menghadap ke manapun.
Jangankan tepat menghadap Kabah, menentukan proyeksinya pun tak semudah yang dibayangkan.
Meski demikian, ibadah Shukor berjalan lancar. Ia bahkan menjadi muslim kesembilan yang membuktikan bahwa berada di angkasa bukan alasan untuk tak melaksanakan ibadah salat, juga puasa Ramadan.
Ia bahkan mengaku mendapatkan pengalaman spiritual. "Setiap orang yang berkesempatan ke luar angkasa akan merasakan sebuah keajaiban. Selama perjalananku yang bertepatan dengan Ramadan, aku seperti mendengar suara azan di Stasiun Luar Angkasa Internasional," kata dia dalam wawancara eksklusif dengan Anadolu Agency (AA).
Dia menjelaskan, astronot lainnya tidak tahu tentang azan. "Tapi aku mendengar panggilan itu secara fisik, nyata. Anda mungkin tak akan terkekut jika mendapat pengalaman seperti saya ketika berada di luar angkasa, saat Anda merasa begitu dekat dengan Allah di setiap detiknya."
Sementara Anousheh Ansari asal Iran menjadi wanita muslim pertama yang terbang ke luar angkasa.
Pada 18 September 2006, beberapa hari setelah ulang tahunnya ke 40, dia terbang ke angkasa. Hebatnya, dia membiayai sendiri perjalanannya itu.
Advertisement