Liputan6.com, Kiev - Hubungan Ukraina-Rusia diwarnai ketegangan sejak 2014, tepatnya setelah penggulingan presiden Ukraina pro-Rusia, Viktor Yanukovych. Tak lama setelahnya, Negeri Beruang Merah mencaplok Krimea dan pemberontakan sepatis pro-Rusia pun pecah di timur Ukraina.
Laporan terbaru saja menunjukkan bahwa Ukraina melakukan uji coba misil selama dua hari di dekat Krimea. Ini mereka sebut sebagai upaya meningkatkan pertahanan. Langkah ini memancing kemarahan Rusia.
Advertisement
Kondisi ini mencerminkan bahwa militer kedua negara dalam posisi siaga tinggi. Di Ukraina sendiri peran perempuan dalam bidang militer baru belakangan ditingkatkan.
Sejumlah foto yang memuat tentara cantik Ukraina mengenakan pakaian loreng-loreng khas militer lengkap dengan senjata pun beredar di dunia maya. Dan sontak mereka menjadi perbincangan.
Tak seperti tentara pada umumnya, para perempuan ini digambarkan sosok yang glamor. Karena meski "berteman" dengan senjata mereka masih memerhatikan penampilan bahkan seorang di antaranya memakai bulu mata palsu.
Sebelumnya, mereka tidak diizinkan untuk terjun langsung ke medan pertempuran. Namun perubahan aturan memungkinkan hal tersebut. Demikian seperti dikutip dari Daily Mail, Kamis (1/12/2016).
Pada Juni lalu, militer Ukraina merombak aturan yang menyebutkan bahwa perempuan hanya bertugas sebagai tenaga medis perang, koki, dan akuntan. Kini mereka dapat menduduki sejumlah posisi strategis di bidang militer salah satunya sebagai penembak jitu.
Demi mendapatkan peran tersebut mereka diharuskan menjalani tes psikologi dan kebugaran fisik yang sangat ketat. Saat ini persentase keberadaan perempuan di militer Ukraina 8,2 persen atau setidaknya terdapat sekitar 17.000 orang.
Pasca-uji coba misil Ukraina, saat ini Rusia telah menempatkan pasukan pertahanan udara berbasis darat di Krimea dalam siaga tinggi. Sebuah sumber militer Rusia menuduh Ukraina mencoba menciptakan "situasi gugup".
Moskow diketahui mendukung gerakan separatis pro-Rusia di timur Ukraina. Konflik antar kedua negara sejauh ini diperkirakan telah menewaskan 10.000 orang termasuk warga sipil, tentara Ukraina, anggota separatis, tentara Rusia, dan anggota militan pro-Ukraina.
Kiev dan Barat menuduh Rusia memicu munculnya gerakan separatis dan membantu para pemberontak. Mereka menanggapinya dengan menjatuhan sanksi ekonomi terhadap Moskow.
Namun tudingan itu dibantah Kremlin. Sebaliknya mereka mengatakan bahwa Ukraina mempertahankan kekerasan dan melanggar kesepakatan Minsk.